Silat
Pelintau dalam perjuangan
Di sebuah lembah sunyi yang
tersembunyi di antara perbukitan hijau Aceh Tamiang, hiduplah seorang petapa
bijaksana bernama Maha Guru OK Said bin Unus. Maha guru dikenal karena
kebijaksanaan dan keterampilannya dalam ilmu bela diri, merasa terpanggil untuk
melindungi tanah kelahirannya. Suatu malam, dalam meditasinya yang khusyuk di
gua suci, Maha guru mendapat petunjuk gaib. Ia melihat bayangan burung
pelintau—seekor burung yang lincah dan tangkas—mewarnai langit malam dengan
tarian yang indah namun mematikan. Gerakan burung itu seakan berbicara dalam
bahasa tubuh yang dipenuhi kekuatan, kelincahan, dan strategi. Maha guru
menyadari bahwa inilah tanda dari Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sebuah ilmu
bela diri yang akan mengakar kuat di tanah Aceh Tamiang.
CHAPTER 2
Di tanah yang kaya akan tradisi dan
budaya, tersembunyi di balik hutan lebat dan aliran sungai yang jernih, dihuni
oleh orang-orang yang hidup selaras dengan alam, menghormati leluhur, dan
menjunjung tinggi warisan mereka. Di sinilah, dalam keheningan malam yang
syahdu, terdengar suara alunan seruling yang mengiringi latihan para pendekar
muda.
Malam itu, bulan purnama menggantung
tinggi di langit, menerangi tanah dengan sinar perak. Di tengah lapangan desa,
seorang pria tua dengan rambut beruban duduk bersila di atas tanah. Dialah Guru
Tua, seorang pendekar yang dihormati, penjaga ilmu bela diri kuno yang disebut
Silat Pelintau. Di hadapannya, murid-muridnya berdiri dengan penuh perhatian,
menyimak setiap gerakan dan nasihat yang keluar dari mulut sang guru.
, "Silat Pelintau bukanlah
sekadar ilmu untuk berkelahi. Ini adalah seni, warisan leluhur kita, jembatan
yang menghubungkan kita dengan masa lalu dan masa depan. Dalam setiap gerakan,
ada jiwa yang hidup, ada doa yang terucap. Silat ini lahir dari tanah yang kita
pijak, dari semangat yang membara di hati kita, dari cinta akan kedamaian dan
keadilan."
”bela diri ini muncul dari
keharmonisan antara manusia dan alam. Terinspirasi oleh gerakan hewan-hewan
liar di hutan, aliran sungai, dan desiran angin, para leluhur menciptakan
gerakan silat yang indah namun mematikan. Menggabungkan kekuatan, kelincahan,
dan ketenangan untuk melindungi desa dari ancaman luar dari penjajah, menjaga
kehormatan dan kedaulatan kampung halaman kita”"Dan kalian, anak-anakku,"
"kalian adalah penerus dari ilmu
ini. Jagalah ia, pelajarilah dengan hati yang tulus, dan gunakanlah untuk
kebaikan. Silat Pelintau bukan untuk menyerang, tetapi untuk bertahan dan
melindungi yang lemah. Ingatlah, kekuatan sejati bukan terletak pada kemampuan
untuk menyakiti, tetapi pada kemampuan untuk melindungi dan mencintai."
(Prolog)
Dengan semangat yang menyala dalam
diri mereka, murid-murid pun mulai berlatih, mengikuti setiap gerakan dengan
ketelitian dan kehati-hatian. Di bawah cahaya bulan, bayangan mereka bergerak
seperti bayangan pepohonan yang menari dihembus angin malam, menciptakan sebuah
pemandangan yang memukau dan penuh makna.
Murid
1
Maha guru yang kami muliakan, ijinkan
hamba bertanya, kenapa lah kita masih bersembunyi berlatih silat ini, kapan
kami mulai beranjak berjuang seperti syuhada lainnya yang sedang berjuang
melawan penjajah.
Sabarlah anak ku,waktu itu tidak lama
lagi, tentulah kita akan menunjukan diri kita dan menjadi barisan terdepan,
kita berlatih di balik rindang hutan tamiang ini karena agar hamba pula bisa
memberikan semua ilmu silat ini kepada kalian, penjajah tidak tinggal diam,
sampai hari ini mereka masih mecari keberadaan kita, hendaklah hamba kyusuk
melatih Ananda semua, agar semua kalian siap saat waktu yang tepat.
“ Datok, aku bertanyak kepadamu,
jawablah jujur sebelum marsose ku membunuh semua rakyat mu, dimana keberadaan
OK said bin yunus dan pasukannya berada?
Datok
Aku tahu mereka dimana, aku akan memberi tahu
jumlah mereka dan kekuatan mereka,
Belanda
Nah ini yang aku suka ,,, katakan
dimana
(gestur mendekati belanda dan langsung
meludah wajah belanda)
Lebih baik mati dari pada hidup
dengan penjajah
Para marsose pun memukuli datok yang meludah
Berhenti, kalian orang tamiang memang
keras kepala
(menodongkan senjata di kepala datok)
Datok
Tembak lah aku sekarang, tak sedikit
pun gentar jiwa dan raga ku
Yang kunanti adalah syahid dari pada
murka berdampingan hidup dengan kalian
Dari kejauhan muncul suara Gong, membuat
marsose panik karna akhirnya rombongan pesilat datang menyelamatkan masyarakat
yang di sandera oleh belanda.
BELANDA
Oh, ini yang disebut dengan Maha Guru
Oka Said bin yunus dan pasukannya yang mahsyur karena silat kalian
Maha
Guru
Dan kalian penjajah yang telah
merampas kemerdekaan kami
Belanda
Sudah lama aku mencari kalian,
Maha
Guru
Tak perlu mencari kami, karena hari
ini dan setelahnya kami lah yang akan mencari kalian dan mengusir kalian dari
tanah tamiang.
Belanda
Betapa sombongnya kalian ini
Maha
Guru
Tidak ada sombong bagi kami, tapi
kami paling tahu apa yang terbaik bagi bangsa kami, dan tak usah berlama-lama
lagi, serang !!!
Pertempuran terjadi antara pesilat dan
marsose hingga semua terbunuh pasukan marsose di tangan para pesilat pelintau.
(Prolog)
Di sinilah awal mula kisah ini
dimulai, sebuah kisah tentang keberanian, warisan, dan cinta akan tanah air,
yang terwujud dalam gerakan indah Silat Pelintau.
Dengan dedikasi yang tinggi, Ok said
bin Yunus menggabungkan kekuatan alami dengan kelincahan yang elegan,
menciptakan sebuah aliran silat yang mampu menandingi musuh dengan ketepatan
dan kecepatan. Ilmu ini dinamakan "Silat Pelintau,"
Silat Pelintau kemudian diwariskan
dari generasi ke generasi, menjadi simbol kekuatan dan kearifan lokal Aceh
Tamiang. Setiap gerakannya bukan hanya sebuah teknik bertarung, tetapi juga
cerminan dari filosofi hidup yang menghargai keharmonisan dengan alam dan
sesama manusia.
Lembaran baru ini dimulai,
Ketika kekuatan dan kebijaksanaan bersatu, Silat
Pelintau lahir, Dari tanah Aceh Tamiang Tanah Bumi Muda Sedia
SELESAI