Home

Sabtu, 30 Desember 2023

KITAB BUSTAN AS-SALATIN ACEH

 


Aceh telah mewariskan pusaka khazanah berharga berupa naskah-naskah tulisan tangan (manuscripts) sejak beberapa abad yang lalu, negeri Serambi Mekkah bagi para ilmuwan filolog dikenal juga sebagai "Lumbung Naskah" tersimpan puluhan, atau bahkan ratusan ribu naskah dipastikan terdapat di nanggroe Rencong, yang sebagiannya kini sulit terjamah di negerinya sendiri, sedangkan sebagian lainnya tersimpan di sejumlah perpustakaan di luar Aceh, seperti Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, Perpustakaan Universitas Leiden dan Universiteitsbibliotheek di Belanda, Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) di Kuala Lumpur

Banyaknya karya ulama-ulama Aceh terkemuka terutama pada abad ke-16 sampai abad ke-18 seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatra'i, Nuruddin al-Raniri, Abdurauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, Fakih Jalaludin, Teungku Khatib Langgien, Muhammad Zein, Abbas Kuta Karang, Teungku Chik di Leupe (Daud Rumi), Jalaluddin Tursany, Jamaluddin ibn Kamaluddin, Zainuddin, Teungku Chik  Pante Kulu, dan banyak tokoh lainnya yang memiliki karakteristik dan kekhasan serta identik dengan khazanah Islam lokal dan universal.

Diantara kitab terkenal adalah (Bustan as-Salatin), yaitu salah satu kitab fenomenal yang disusun pada abad ke-16 tepatnya pada masa Iskandar Muda (1607-1636) sampai pada masa Sultan Iskandar Tsani (1636-1641), kitab ini memberikan gambaran tentang Aceh dan kerajaannya pada periode ke-16 dan ke-17 M.

Pada masa tersebut, kitab inilah paling lengkap menceritakan kisah raja-raja Melayu secara universal, khususnya kerajaan Aceh Darussalam, termasuk merekam jejak perjalanan istana kerajaan Aceh dan struktural kenegaraan, yang dikarang oleh seorang ulama berasal dari negeri anak benua, Hindustan (India) bernama Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibn Muhammad Hamid ar-Raniri.

Nuruddin ar-Raniry seorang ulama dan negarawan yang telah berhasil memberikan sumbangsih sejarah melalui kitab Bustan as-Salatin pada saat pengabdiannya di Aceh, menurut sejarawan untuk menyelesaikan kitab Bustan as-Salatin dalam waktu relatif lama, namun tidak dapat dipastikan secara pasti tahun berapa kitab itu mulai ditulis, hanya perkiraan tahun 1640 (1050 H) sudah beredar dan menjadi bacaan para penghuni istana raja dan ulama-ulama Aceh. Menurut Braginsky kitab Bustan as-Salatin ditulis antara tahun 1638-1641, hal tersebut dapat terlilhat dari syair naskah Bustan as-Salatin berbunyi "Ialah perkasa terlalu berani, Turun-temurun nasab Sultani, Ialah menyunjung inayat Rahmani, Bergelar Sultan Iskandar Tsani", sebagian lain berpendapat bahwa Bustan as-Salatin sudah diisyaratkan kajiannya dalam kitab Asrar al-Insan fi Ma'rifah al-Ruh wal Rahman, juga karya Nuruddin as-Raniry usai dikarang pada tahun 1640 M (1050 H).

Nuruddin ar-Raniry berasal dari Ranir (Randir) Gujarat, India, sebagai foreigner menjadi asing bagi masyarakat Aceh, namun ia sudah banyak mengetahui tentang Melayu khususnya Aceh. Hal tersebut sangat dimungkinkan memperoleh seluruh informasi tersebut dari pamannya Syekh Muhammad Jailani bin Hasan Ar-Raniry, yaitu seorang ulama yang sudah berkarya sebelumnya di Aceh sebagai da'i sekaligus pedagang. Ia adalah salah seorang dari sekian banyak para pedagang dan mubaligh India yang mengajar dan berbisnis di Aceh dari satu generasi ke generasi lain secara turun temurun, maka dipastikan Nuruddin ar-Raniry sudah menguasai bahasa Melayu dan aksara Jawi sebelum menginjak kakinya di Aceh.

Ada sekitar 30 lebih judul kitab karya Nuruddin ar-Raniry dalam pelbagai disiplin bidang ilmu dan kajian mayoritasnya beraksara Jawi berbahasa Melayu, diantaranya Kitab As-Sirath al-Mustaqim, Durrat al-Faraid bi Syarh al-'Aqaid, Hidayat al-habib fi al Targhib wa'l-Tarhib, Bustanus as-Salatin fi Zikr al-Awwalin Wal Akhirin, Latha'if al-Asrar, Asrarul Insan fi Ma'rifat al-Ruh wa al-Rahman, Tibyan fi Ma'rifat al-Adyan, Akbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah, Hill al-Zill, Ma'ul Hayat li Ahlil Mamat, Jawahirl 'Ulum fi Kasyfil Ma'lum, Syifa'ul Qulub, Hujjat as-Shiddiq Lidaf'il Zindiq, Fathul Mubin 'alal Mulhidin, dan kitab lain sebagainya.

Kitab Bustanus as-Salatin lah menjadi salah satu bacaan para kediaman kerajaan Aceh, secara prikologis kitab tersebut memiliki nilai historis yang bernilai tinggi yang menjadi rujukan para sejarawan dan research dalam melakukan berbagai kajian dari dulu hingga kini. Penggunaan bahasa Melayu (beraksara Jawi) sebagai bahasa resmi baik dibidang politik, dagang, agama, dan budaya, di Aceh sejak abad ke-15 telah mendorong perkembangan tradisi tulis dan tradisi keilmuan yang sangat pesat di wilayah ini hingga abad-abad berikutnya, khususnya abad ke-16 dan ke-17 ketika kesultanan Aceh menggapai masa keemasannya.

Berdasarkan rekaman sejarah, kitab Bustan as-Salatin menjadi perintis perdana yang mengupas tentang historikal kerajaan yang bersifat teologis sekaligus historis. Disebut teologis sebab mengurai keesaan Tuhan dan segala wujud tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan proses tersebut, sekaligus disebut historis karna merangkup perjalanan raja-raja Aceh. Menurut Teuku Iskandar dalam bukunya, karya Nuruddin ar-Raniry mengikuti jejak kitab karya ulama sebelumnya Bukhari al-Jauhari berjudul Taj as-Salatin, jika ditinjau dari beberapa sisi ada persamaan, namun juga terdapat banyak perbedaannya, sebab kitab Taj as-Salatin disusun lebih berat pada titik religious cultures yang ditujukan kepada raja-raja Iran (Parsi), yaitu tidak lain merupakan ilustrasi untuk konsepsi etika dalam membentuk harmoni peradaban manusia dan alam ini.

Sedangkan kitab Bustan as-Salatin adalah sebuah kitab yang bersifat religious histories, yaitu terfokus pada teologi-historis dimana didalamnya dilukiskan gambaran dinamis tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan prosesnya, namun tak terlepas dari etik dan syariat yang diutamakan. Dan dalam naskah Bustan as-Salatin inilah jelas dan tegas memasukkan sejarah bangsa Melayu ke dalam sejarah dunia yang dipaparkan sebelumnya, dan khususnya perjalanan sejarah Kerajaan Aceh sebagai Dar as-Salam (Darussalam). Demikian juga menurut Hooykaas menyebutkan jika dibandingkan dengan Sejarah Melayu karangan Tun Sri Lanang yang disebut Paduka Raja dalam Bustan as-Salatin, maka kitab ini (Bustan as-Salatin) lebih bersifat pengetahuan, baik agama, sejarah dan nasehat (etika).

Kitab masyhur ini kemudian menjadi bacaan para alim ulama dan raja-raja setelah Sultan Iskandar Tsani, seperti Sultanah Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675), Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678) sampai kepada abad ke 18 pada masa Sultan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760), perubahan ideologi karakteristik masyarakat Aceh pada saat itu berubah terhadap hadirnya penjajah di Aceh, dalam kondisi ini posisi kerajaan mulai beralih pada pertahanan dan penguatan wilayah daripada pengembangan intelektual masyarakat, namun peranan ulama pada era ini sangat penting untuk menjaga persatuan ummat dan semangat patriotisme.

Dalam Bustan as-Salatin juga digambarkan patriotisme dan peperangan masa kerajaaan, dapat dikatakan naskah ini merupakan kitab perdana di dunia Melayu (Nusantara) yang berbentuk gubahan ensiklopedis yang menggabungkan genre universal histories dengan 'cermin didaktis'. Menurut Braginsky bahwa kitab ini sangat tebal sehingga tidak tersimpan semua bab dalam satu bundel, dan biasanya naskah-naskahnya berisi hanya satu atau dua-tiga bab tertentu. Namun, jika mengupas isinya maka bisa ditemukan antar bab dan pasal saling bersinambungan dan berkaitan, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kitab ini dikarang secara periodik dan kontinue.

 Menilik isinya, naskah Bustan as-Salatin yang terbagi kepada 7 (tujuh) bab dan terdiri dari 40 (empat puluh) pasal, pembahasannya dimulai dari wujud penciptaan Alam ini, penciptaan Nur Muhammad, Malaikat dan segala bentuk perwujudan, kemudian pada bab selanjutnya uraian wilayah kekuasaan Aceh dan Melayu, histografi dan silsilah Sultan Aceh serta kemegahan dengan segala hukum dan qanun yang diterapkan dalam menjalankan roda pemerintahan dan hubungannya dengan negara-negara luar Aceh, baik diplomasi maupun perebutan kedaulatan di wilayah sekitar seperti Deli, Johor, Malaka, Kedah dan Pattani (Thailand Selatan). Pada bab inilah yang menjadi patokan para sejarawan menelusuri silsilah dan potret kerajaan Aceh serta 'patron' dalam penegakan hukum syariat Islam dimasa keemasan Kesultanan Aceh.

Dapat dibayangkan gambaran uraian dalam naskah Bustan as-Salatin tentang kemegahan kerajaan Aceh Dar ad-Donya as-Salam "Syahdan, di darat Balai Keemasan yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, di dalam istana ada Maligai Mercu Alam, dan Maligai Daulat Khana dan Maligai Cita Keinderaan dan Medan Khayali, dan aliran sungai Dar al-Isyki itu suatu dan terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Khairani yang amat luas. Dan pada sama tengah medan itu Gegunungan Menara Permata, tiangnya dari tembaga, dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, adalah dalamnya beberapa permata puspa ragam, dan Sulaimani dan Yamani".

Pada bab-bab selanjutnya diuraikan tentang etika seorang pimpinan, penegakan hukum dan keadilan, sosial dan komunitas masyarakat Melayu serta patriotisme yang zuhud dan wara', hikayat didalam naskah ini tidak terlepas dari local history dan adat-istiadat yang terjadi di kerajaan Aceh untuk melukiskan kehidupan antara kerajaan dan masyarakat yang majemuk. Pada bab terakhir (bab 7) membagi pembahasan kepada bermacam tema dan topik seperti pengajaran, pendidikan, pengabdian, masalah Nisa' dan juga khusus pada bab ini Nuruddin ar-Raniry berpolemik dengan berbagai kisah mistis dan ganjil sebagai i'tibar bagi pembaca.

Selaras dengan perkembangan dunia pernaskahan, pada pertengahan abad ke-19 tepatnya pada awal agresi Belanda ke Aceh pada tahun 1873 M, perang paling terpanjang dalam catatan sejarah dan penyerangan besar-besaran ke Aceh, telah menjadikan perhatian ilmuwan dan rakyat Aceh terhadap karya-karya ulama spektakuler terabaikan, pada saat yang sama perhatian rakyat Aceh tertuju kepada perjuangan fisik (perang) mengusir penjajah dari tanah kelahirannya. Situasi ini dimanfaatkan oleh Barat (penjajah) untuk memboyong karya-karya ulama ke luar negeri, walau sebagian kecil peran ulama menyelamatkan naskah dengan mengkaji dan memperbanyak di dayah-dayah sekaligus menjadi benteng perjuangan seperti apa yang terjadi di Zawiyah Tanoh Abee, Awe Geutah dan di dayah-dayah lainnya.

Dan kini, dalam penelusuran inventarisasi dan konservasi manuskrip karya ulama-ulama Aceh sangat jarang ditemukan, pada kajian inventarisir naskah Bustan as-Salatin yang menjadi cikal bakal pengungkapan sejarah keemasan dan kejayaan kerajaan Aceh sudah tidak ditemukan lagi sumber asli, kitab fenomenal tersebut menjadi misteri di negerinya sendiri, tidak ditemukan koleksi kitab ini baik di Museum Negeri Aceh maupun di koleksi perpustakaan swasta yang ada di Aceh. Tentunya, sangat disayangkan dengan hilang dan luputnya pelestarian naskah berharga di negeri ini, walau sudah dapat dipastikan bahwa manuskrip karangan asli tangan pengarang (autograph) telah musnah.

Dalam dunia pernaskahan, para ilmuwan telah menyusun berbagai katalog naskah-naskah kuno untuk dapat menginventarisir karya khazanah warisan leluhur, dalam penelusuran ini ditemukan bahwa sebagian salinan kitab Bustan as-Salatin hanya tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta dalam versi tidak lengkap, sedangkan lainnya satu bundel naskah di Perpustakaan Universitas Malaya di Malaysia dari bab I, III sampai V, serta dua naskah berada di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda juga dalam versi tidak lengkap. Sedangkan di tanah kelahirannya belum ditemukan kitab masyhur ini yang pernah mengharumkan nama Aceh Darussalam di kancah dunia. Namun cahaya lilin belum redup, tentu masih ada secercah harapan untuk memberikan perhatian lebih kepada semua karya ulama-ulama indatu, mengungkapkan sejarah dan identitas keacehan lebih mendalam, mengkaji isi teks naskah serta kekayaan khazanah karun Aceh yang tak pernah khatam.

PELINTAU TAMIANG TITI BATANG


Siapa sih yang tidak pernah mendengar tentang pencak silat? Ya, salah satu kesenian bela diri asli Kepulauan Melayu ini secara luas dikenal di negara-negara Asia Tenggara tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, kesenian ini dapat ditemui di berbagai daerah dari Sabang sampai Merauke tak terkecuali di provinsi Aceh. Kali ini, kita akan membahas eksistensi Pencak Silat di salah satu kabupaten di Aceh yaitu Tamiang.


Selain mengenal pencak silat sebagai sebuah kesenian bela diri, masyarakat Tamiang juga mengaitkan Pencak Silat dengan kesenian tari yang secara khusus disebut dengan Titi Batang di dalam permainan pencak silat Pelintau. Keduanya tentu memiliki perbedaan meski keduanya juga berkaitan dengan sebuah unsur yang sama, yaitu Pencak Silat. Sebagai sebuah kesenian bela diri, Pencak Silat lebih mengutamakan ketepatan dan presisi dalam bergerak dengan fungsi utama untuk melindungi diri. Di sisi lain, Titi Batang memiliki gerakan yang lebih luwes, terbuka, dan fleksibel. Mengapa demikian? Tentu kita tidak boleh melupakan bahwa Titi Batang di sini berperan sebagai sebuah tarian dengan fungsi utama menghibur audiens. Selain itu, musik tradisional Tamiang juga digunakan untuk mengiringi sebuah pertunjukan Titi Batang seperti gendang biola dan akuardion. Hal ini memberikan sebuah kebebasan yang tidak terdapat pada bela diri Pencak Silat yang digunakan untuk melindungi diri.


Dari sisi sejarah, tidak ada bukti peristiwa yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui asal mula kemunculan Titi Batang. Salah satu pendapat menyatakan bahwa kemunculan Titi Batang berhubungan erat dengan pelarangan praktik bela diri pada masa penjajahan Belanda. Melalui Titi Batang, masyarakat saat itu mampu belajar Pencak Silat secara diam-diam. Hal ini mungkin saja benar, mengingat bahwa persebaran sebuah kesenian bela diri seperti Pencak Silat sangatlah mengancam pendudukan Belanda di Indonesia. Namun, tetap saja ada kemungkinan bahwa bukanlah hal tersebut yang terjadi karena sejarah memiliki banyak sudut pandang yang berbeda-beda.


Pada dasarnya, Pencak Silat dan Titi Batang memiliki banyak keseragaman. Penggunaan tubuh dan anggota badan manusia sebagai unsur utama merupakan salah satunya. Awalnya, Pencak Silat diciptakan semata-mata hanya untuk membela diri. Pada perkembangannya, masyarakat menyadari bahwa gerakan Pencak Silat memiliki potensi keindahan dalam bentuk gerakan tubuh yang lugas sekaligus luwes yang menggambarkan upaya seseorang untuk membela diri. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab eksistensi Titi Batang dalam permainan pencak silat pelintau di masyarakat Tamiang.

Seiring dengan berjalannya waktu, semakin jarang ditemukan kawula muda yang mau melestarikan kesenian ini. Di Kabupaten Aceh Tamiang  sendiri sudah jarang ditemukan pagelaran yang mempertunjukkan Titi Batang PELINTAU. Jika tidak ada upaya dari generasi muda, kesenian ini hanya akan menjadi setitik debu dalam sejarah yang mudah dilupakan orang.







 

Jumat, 29 Desember 2023

DATUK 4 SUKU


     Tata Pemerintahan kerajaan Tamiang ditetapkan dengan bentuk Pemerintahan Berbalai (Balai kerajaan dan Balai empat suku) terdiri atas wakil Empat suku, delapan Kaum, 16 Pancar, dan 36 dengan handai Taulan serta Kerabat. 

    Dari keputusan Balai Kerajaan di Masa Pemerintahan Raja Muda Sedia lahir kata Tuah : Adat diPangku, jarak di junjung, resam dijalin & Kanun diatur.


Raja Muda Sedia : Masa Pemerintahan 1330–1352 M. Di Masa Pemerintahan Raja Muda Sedia, Kerajaan Tamiang mulai berkembang sebagai suatu kerajaan Islam berpusat di Kuta Benua, sekarang Kejuran Muda. Dan mengakui secara sah hak datuk- datuk selaku pemimpin Negeri (Kampung).

Dan lambat laun berubah menjadi Datuk empat suku, di mana salah satu tugasnya mengangkat & mengesahkan Raja Tamiang. 

Dalam Menjalankan Roda Pemerintahannya, beliau di dampingin Oleh Mengkubumi (Muda Sedinu) dengan Seorang Pemuka Agama Yaitu Tu Ampun Tuan yg berkedudukan di Batu Bedulang. Raja Muda Sedinu dan Tu Ampun Tuan hilang di dalam Persemediannya di daerah Gunung Senama setelah Kuta Benua di Bumi Hanguskan, Akibat Peperangan dengan Kerajaan Maja Pahit yg di Pimpin langsung Oleh Patih GAJAH MADA. Hancurlah kuta benua, lalu Pusat kerajaan Tamiang oleh Mangkubumi Muda Sedinu dipindahkan ke Pagar Alam.


KERETA API ACEH YANG TELAH TIADA

 

Oleh: Dr. Muhammad Gade Ismail, MA


    Pada saat ini kereta api di Aceh sudah tidak ada lagi sementara bekas- bekas yang menunjukkan keberadaanya selama satu abad lebih semakin menghilang. Jika beberapa tahun yang lalu masih banyak rel atau bangunan yang tersisa di sana sini, sekarang semakin habis meninggalkan tempatnya, entah kemana rel-rel kereta api yang diterjang usia, telah menjadi dan dijadikan besi tua. Bangunan bangunan stasiun yang tersebar di berbagai kota baik besar maupun kecil telah banyak berubah fungsinya, ada yang menjadi warung kopi atau sebagainya.

 

Kereta api di Aceh yang muncul pada perempatan terakhir abad yang lalu dan terus berjalan dengan baik selama pertengahan pertama abad ini, memasuki tahun enam puluhan mulai berjalan tersendat sendat dan pada akhirnya pada tahun 1980 sama sekali terhenti kegiatannya.

 Tulisan ini berusaha menyoroti kembali sejarah tumbuh dan berkembangnya kereta api tersebut serta peranan yang telah dimainkan sepanjang sejarahnya baik dibidang kemiliteran, politik dan ekonomi.

Munculnya kereta api di Aceh untuk pertama kali, sama sekali tidak dapat dipisahkan dari sejarah penegakan kekuasaan Hindia Belanda di Aceh.

Segera, setelah pasukan ekspedisi Belanda untuk kedua kalinya berhasil merebut Dalam/Istana dari sultan Aceh pada awal tahun 1874, untuk menunjang operasi operasi militer mereka di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dan sekitarnya, mereka langsung memikirkan pentingnya komunikasi dan pembagunan jalan darat yang menghubungkan Ulee lheue  dengan Banda Aceh.

Betapa pentingnya persoalan ini dapat dilihat dari campur tangan langsung Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) yang pada tangga 26 Mai 1874 membentuk suatu komisi khusus  untuk mempelajari dan menyusun rencana pembangunan bidang komunikasi tersebut.

 Salah satu faktor yang mendorong pembentukan komisi ini ialah guna mencari pemecahan masalah transportasi peralatan militer dan perlengkapan antara Uleelheu dengan Banda Aceh. Dengan belum dibangunnya jalan darat  antara dua tempat itu, pemerintah Hindia Belanda mengalami banyak hambatan dalam pengangkutan barang-barang dan itu menyebabkan terhambatnya operasi-operasi militer.

Pada 26 Juni 1874 komisi yang bertugas itu membuat laporangnya dan mengusung agar di Uleelheue  dibangun dermaga tempat pembongkaran barang-barang dari kapal, dan dari sana langsung dihubungkan dengan jalan kereta api ke Banda Aceh.

 Usul ini mendapat persetujuan pemerintah Hindia Belanda dan sejak tahun 1875. Dermaga tersebut mulai dibangun dan jalan kereta api antara Uleelheu dengan Banda Aceh mulai dibuka untuk umum.

Pada tahun-tahun permulaan pembukaan jalan kereta api, meskipun panjangnya belum lagi 5 kilometer tetap  lebarnya  seperti di Jawa yaitu 1,067 meter. Pembuatan jalan kereta api ini, sejak awal pembangunan jalan kerte api, dengan jelas terlihat bahwa unsur kepentingan militer Pemerintah Belanda di daerah ini amat berperan.

 Oleh karena itu pula maka dapatlah dipahami apabila segera setelah rampungnya pembangunan jalan kereta api antara Uleelheu dengan Banda Aceh, prioritas selanjutnya dipusatkan kepada pembangunan jalan serupa ke Gle Kameng/Kambing di sebelah kiri Kreueng Aceh, jalan kereta api ini dibangun atas jalan yang telah terlebih dahulu ada, tetapi lebarnya hanya 0,75 meter. Dengan demikian, disamping jalan kereta api ini masih ada jalan yang telah dikeraskan, yang  dapat dilewati oleh pedati.

Berhubung jalan kerat api ini dihubungkan langsung dengan jalan kereta api dari Uleelheue  ke Banda Aceh yang telah dibangun sebelumnya maka jalan  kereta api yang terdahulu itupun di perkecil menjadi 0,75 meter.

Berhubung jalan kereta api ini lebih kecil dibandingkan dengan jalan kereta api di pulau Jawa, membawa penguruh bagi pengembangan kereta api ini dimasa-masa berikutnya

 Pengecilan jalan-jalan kereta api ini seluruhnya selesai dikerjakan pada tahun 1884.

Meskipun usaha membangun jalan kereta api ke Gle Kameng sampai tahun 1883 tidak berhasil dilaksanakan, tetapi usaha  itu berhasil mencapai Lam Baro dan  karena itu sejak tahun 1884 kereta api ini dibuka untuk umum.

Pembangunan jalan kerata api pertama  dari Uleelheu ke Banda Aceh yang  panjangnya 4 kilometer dan selanjutnya dari Banda Aceh ke Lam Baro yang panjangnya 7 kilometer sepenuhnya dibangun oleh zeni-bangunan pasukan Belanda.

Jalan kereta api di Banda Aceh dan sekitarnya menjadi lebih penting lagi dari sudut strategi militer Belanda ketika mulai diberlakukannya “sistim garis konsentrasi  “  di Aceh Besar.

 Kebijaksanaan umum pemerintah Belanda pada waktu itu ialah berusaha  mengkosolidasikan kekuatannya pada daerah-daerah yang telah berhasil direbutnya dari orang-orang Aceh di Aceh Besar.

Mereka pada waktu itu tidak melakukan perluasan daerah, tetapi coba mempertahankan apa yang telah mereka kuasai saja. Daerah-daerah yang dianggap telah berada di bawah kekuasaannya itu dipertahankan sekuat tenaga dari serangan serangan Muslimin Aceh.

Guna membangun sistem pertahanan di dalam garis konsentrasi,  dibangunlah beberapa benteng pertahanan Belanda. Benteng–benteng ini dihubungkan satu dengan lainnya oleh jalan kereta api.

 Di samping jalan kereta api yang telah terlebih dahulu dibangun antara Uleelheue dengan Banda Aceh, sejak tahun 1885 pembangunan jalan-jalan kereta api yang menghubungkan berbagai benteng pertahanan itu berkembang dengan pesat.

Berhubung pembangunan jalan-jalan kereta api pada periode pertama ini semata-mata untuk kepentingan militer, maka fungsi ekonominya masih kurang diperhatikan.


Pada waktu sistem garis konsentrasi dihapuskan pada tahun 1896, jaringan kereta api antara Banda Aceh dengan daerah luar dapat ditambah. Jaringan-jaringan rel kereta api yang selama garis konsentrasi dianggap penting, tetapi dengan penghapusan itu tidak berguna lagi dan oleh karenanya dihapuskan. Pada tahun 1898 jaringan kereta api antara Banda Aceh ke Lam Baro berhasil diselesaikan.

Pada tahun 1901 seluruh jaringan kereta api di Aceh Besar berjumlah 58 kilometer dan karenanya bangunan stasiun dan bengkel di Banda Aceh perlu diperluas.

 

 

 Dalam perkembangan selanjutnya ketika jalan kereta api berhasil menguhubungkan Banda Aceh dengan Langsa, dua bengkel besar dibangun di Sigli dan Langsa.

Rencana penyambungan jalan kereta api dari Seulimeum ke Pidie mulai dicanangkan Van Heutsz, Gubernur militer Belanda  di Aceh pada tahun 1898. Rencana Van Heutsz ini berkaitan erat dengan ekspedisi-ekspedisi militer yang dijalankannya ke berbagai derah Uleebalang baik ke Pidie, pantai utara atau pantai timur.

Berhubungan dengan rencana Van Heutsz ini,  sebuah komisi dari pulau Jawa yang dipimpin Ir. A.W. Wijss membuat perkiraan anggaran yang dibutuhkan untuk merealisir rencana itu.

 

 Berhubung dengan medan yang sangat berat, pelaksanaan pekerjaan itu membutuhkan biaya yang cukup besar. diperkirakan biaya lebih dari tiga juta gulden.

Meskipun jaringan kereta api amat penting artinya bagi operasi-operasi militer, berhubung dengan pembiayaan yang sangat besar , maka rencana penyambungan jalan kereta api antara Banda Aceh dengan daerah Pidie terpaksa ditunda dulu.

Meskipun demikian pembangunan jalan kereta api antara Keude Breuh dengan Sigli di sebelah lain dari gunung  Seulawah sepanjang 18 kilometer berhasil diwujudkan pada tahun 1899.

Van Hautsz yang berkunjung ke Batavia (Jakarta) berhasil menyakinkan pejabat pemerintah Hindia Belanda di sana tentang arti penting pembangunan jalan kereta api di sepanjang pantai utara dan timur Aceh.

Menurutnya, pembangunan kereta api itu tidak saja menunjang tujuan-tujuan militer tetapi juga akan sangat menunjang politik “pasifikasi” yang dijalankan pemerintah Belanda di Aceh melalui perbaikan perekonomian rakyat.

Selain itu perbaikan sarana jalan ini juga dapat dipergunakan untuk menarik minat penanaman  modal asing ke daerah Aceh.

Rencan Van Heutsz ini mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda di Batavia dengan pemberian angaran  untuk perpanjangan jalan kereta api antara Sigli  ke Lhok Seumawe pada tahun 1900.

 Berhubung jalan utama kereta api ini harus melalui kenegerian Samalanga yang pada waktu itu masih melakukan perlawanan  yang keras terhadap kekuasaan Hindia Belanda,  barulah pada tahun 1904 jalan kereta api itu berhasil dibangun.

Dari jalan utama itu suatu cabang dari Beureunuen ke Lammeulo(sekarang: Kota Bakti – TA)  berhasil dibangun pada tahun 1913.

Pembangunan jalan kereta api dari Lhok Seumawe ke Idi dan ke Kuala Langsa dalam tahun-tahun berikutnya, meskipun berlangsung secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit berhasil juga dibangun dengan sempurna.

Jalan kereta api yang tersisa, yang belum dibangun antara Seulimeum dengan Keude Breuh, dimulai pembuatannya pada tahun 1903 dan pada tahun 1908 berhasil diselesaikan.

Dengan demikian sejak tahun itu, jaringan kereta api dari Banda Aceh berhasil dihubungkan dengan daerah Pidie, Aceh utara dan Aceh timur.

Pada tahun 1910 diputuskan untuk meneruskan pembangunan jalan kereta api dari Kuala Langsa ke Kuala Simpang, dan sejak 1912 sampai ke Pangkalan Susu, jaringan kereta kapi Aceh berhasil dihubungkan langsung dengan kereta api Deli sejak tahun 1919.

Dengan penggalangan ini berarti kereta api Aceh yang pada mulanya dimaksudkan untuk kepentingan-kepentingan militer saja, berubah fungsinya menjadi sarana  penting dalam kegiatan ekonomi

Komoditi ekspor baru seperti karet dan kelapa sawit yang mulai dihasilkan oleh daerah Aceh timur sejak pertengahan   kedua abad ini dengan mudah diangkut kepelabuhan pengekspor,  baik melalui Kuala Langsa maupun pelabuhan Belawan di Sumatera Utara.

 Disamping itu berbagai produksi rakyat setempat dengan mempergunakan kereta api lebih mudah mencapai pasar.

Bagaimana sikap masyarakat Aceh terhadap munculnya kereta api di daerah ini, adalah persoalan yang menarik juga untuk dibahas. Secara garis besar terdapat dua bentuk dalam dua periode waktu, sesuai dengan pola kebijaksanaan kolonial dalam bidang perkeretaapian di Aceh.

Pada periode pertama pembangunan jaringan kereta api itu, sampai kira-kira dengan tahun 1910, dimana pemerintah kolonial lebih menitik beratkan sebagai alat pasifikasi, yang menunjang operasi-operasi militer, masyarakat Aceh memandang kereta api sebagai alat yang dipergunakan untuk menaklukkan mereka.

 Oleh karena itu dapatlah dimengerti apabila masyarakat Aceh, kaum pejuang merusak jalan-jalan kereta api tersebut. Akibat seringnya terjadi pengrusakan tersebut menyebabkan hampir setiap kali rangkaian gerbong kereta api yang mengangkut penumpang dan barang yang akan menuju sesuatu stasiun tujuan, terlebih dahulu didahului oleh sebuah lokomotif khusus dan tersendiri yang bertugas untuk memeriksa jalan.

Apabila keadaan jalan cukup aman, barulah rangkaian kereta api yang dibelakangnya dibenarkan untuk bergerak jalan.

Pembongkaran jalan-jalan kereta api dan jaringan telepon yang dilakukan oleh Muslimin Aceh tidak hanya terbatas pada pengrusakan yang dilakukan dengan alat-alat sederhana saja, tetapi juga dilakukan dengan meledakkan dinamit.

Tampaknya keahlian mempergunakan bahan peledak yang diajarkan oleh seorang warga Amerika Serikat kepada para pejuang Aceh sejak awal peperangan berhasil dikuasai dengan baik.

Warga Negara Amerika Serikat yang dimaksudkan ialah shepperd, yang selama delapan tahun berturut-turut sebelum pecahnya perang Belanda di Aceh berdiam di Samalanga.

 Setelah masuk Islam  dan menunaikan ibadah haji ia berganti nama Haji Husein. Sejak awal perang ia mengajarkan orang-orang Aceh untuk mempergunakan bahan peledak.

Pada waktu Teungku Chik Di Tiro mulai membangkitkan perlawanan di Pidie, ia menjadi orang yang dipercayai untuk mengurus perbekalan perang dari Pulau Pinang dan Singapura

Sikap kedua masyarakat Aceh terhadap kereta api ini, dalam periode ketika peperangan sudah mulai reda, dapat dikatakan bahwa mereka mulai dapat menerima kehadiran kereta api sebagai alat yang memudahkan mereka bergerak dari satu daerah ke daerah lain.

 Meskipun selama perode ini beberapa kali terjadi, personil kereta api dibunuh oleh orang-orang Aceh, baik terhadap petugas stasiun, kondektur dan sebagainya, kejadian ini termasuk ke dalam kerangka “Aceh Modern”, atau pembunuhan yang dilakukan orang-orang Aceh terhadap pegawai-pegawai Belanda karena semangat anti kafir.

Sikap kedua ini tercermin dan bertambah banyaknya penumpang dan barang-barang yang diangkut dengan kereta api setiap tahun.

Seperti diketahui bahwa sejalan dengan pertumbuhan kereta api, sarana jalan mobilpun mendapat perhatian pemerintah pada waktu itu. Keadaan ini menyebabkan terjadinya persaingan di antara angkutan  mobil dengan  kerata api.

Menghadapi persaingan ini tarif angkutan kereta api beberapa kali mengalami penurunan. Meskipun demikian hanya sampai tahun 1938 dan 1939 kereta api di Aceh masih membawa keuntungan untuk perusahaan tersebut.

Kereta api di Aceh yang muncul sebagai produk kolonial sejak awal Belanda di Aceh sampai dengan berkhirnya kekuasaan Belanda pada tahun 1942 dapat berjalan dengan lancar.

 Peranan kereta api sebagai sarana penunjang maksud-maksud militer dan ekonomi masih terus berlanjut selama masa pendudukan Jepang. 1942-1945. Hanya saja perlu dicatat bahwa beberapa jembatan penting dihancurkan oleh pasukan Jepang pada waktu mereka berusaha memasuki Aceh. Jembatan-jembatan ini kembali diperbaiki pada waktu Jepang menduduki Aceh.

Pada waktu tentara Sekutu berusaha mendaratkan pasukan di Indonesia pada akhir Perang Dunia II, beberapa stasiun perbengkelan dan jembantan kereta api di Aceh juga menjadi sasaran pemboman pesawat Sekutu.

 Dalam pemboman yang ditujukan terhadap bengkel kereta api di Sigli, seorang pegawai Jepang yang bekerja di sana mati terkena bom sekutu tersebut di bawah sebuah mesin bubut Gasudenki, dan sampai sekarang kuburan itu masih belum dipindahkan ke tempat lain.

Kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh bom tentara Sekutu itu menjadi hambatan yang cukup besar bagi perkembangan kereta api di Aceh pada masa-masa sesudahnya di zaman kemerdekaan.

Dalam alam kemerdekaan kereta api menjadi urusan Djawatan Kereta Api (DKA),  seterusnya berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) dan berubah lagi menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA).

Dalam masa ini kereta api amat berperanan dalam bidang ekonomi baik untuk alat pengangkut barang maupun penumpang.

Berhubung kereta api Aceh yang memiliki lebar jalan cukup kecil dibandingkan dengan kereta api di pulau Jawa yang juga cukup tersendat-sendatnya penggantian material yang dibutuhkan mengakibatkan terjadinya peleburan dari Exploitasi Aceh menjadi Inspeksi yang dimulai sejak 4 April 1972 digabungkan dengan Exploitasi Sumatera Utara dengan Kantor Inspeksi berkedudukan di Langsa

Sejak tahun enam puluhan kereta api yang menghubungkan Banda Aceh dengan Sigli  mulai mengalami hambatan karena kurang tersedianya lokomotif dan pemeliharaan jalan yang tidak memadai

Memasuki tahun tujuh puluhan, jalur kereta api ini menjadi terhenti, sementara itu kereta api antara Sigli  dengan Lhokseumawe dan Besitang masih dapat dipertahankan, tetapi pada akhirnya jalur ini juga mengalami kemacetan.

Pada tahun 1978 hanya lintas Langsa dengan Kuala Langsa sepanjang 9 kilometer yang masih dapat berjalan. Sejak 2 Mei 1980 lintasan terakhir yang pendek itu pun pada akhirnya terpaksa dihentikan karena lokomotif terakhir yang selama ini menjalani trayek itu rusak dan tidak mungkin diperbaiki kembali.

Dengan terhentinya trayek itu seluruh kegiatan kereta api di Aceh yang dimulai dari kilometer kilometer pertama pada tahun 1876 berasal dari dermaga di Uleelheue  pun  terkubur yang tertinggal sekarang ini hanyalah jejak bekas yang semakin berkurang pula dan bukanlah hal yang mustahil pada suatu saat nanti yang tinggal hanyalah gambar gambar yang ada di dalam buku buku saja.

 

 

( Sumber : Atjeh Post , Minggu Kedua September 1989  halaman  VI).



banjer