Oleh: Dr. Muhammad Gade Ismail, MA
Pada saat ini kereta api di Aceh sudah tidak ada lagi sementara bekas- bekas yang menunjukkan keberadaanya selama satu abad lebih semakin menghilang. Jika beberapa tahun yang lalu masih banyak rel atau bangunan yang tersisa di sana sini, sekarang semakin habis meninggalkan tempatnya, entah kemana rel-rel kereta api yang diterjang usia, telah menjadi dan dijadikan besi tua. Bangunan bangunan stasiun yang tersebar di berbagai kota baik besar maupun kecil telah banyak berubah fungsinya, ada yang menjadi warung kopi atau sebagainya.
Kereta api di Aceh yang muncul pada perempatan terakhir abad yang lalu dan terus berjalan dengan baik selama pertengahan pertama abad ini, memasuki tahun enam puluhan mulai berjalan tersendat sendat dan pada akhirnya pada tahun 1980 sama sekali terhenti kegiatannya.
Tulisan ini berusaha menyoroti kembali sejarah tumbuh dan berkembangnya kereta api tersebut serta peranan yang telah dimainkan sepanjang sejarahnya baik dibidang kemiliteran, politik dan ekonomi.
Munculnya kereta api di Aceh untuk pertama kali, sama sekali tidak dapat dipisahkan dari sejarah penegakan kekuasaan Hindia Belanda di Aceh.
Segera, setelah pasukan ekspedisi Belanda untuk kedua kalinya berhasil merebut Dalam/Istana dari sultan Aceh pada awal tahun 1874, untuk menunjang operasi operasi militer mereka di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dan sekitarnya, mereka langsung memikirkan pentingnya komunikasi dan pembagunan jalan darat yang menghubungkan Ulee lheue dengan Banda Aceh.
Betapa pentingnya persoalan ini dapat dilihat dari campur tangan langsung Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) yang pada tangga 26 Mai 1874 membentuk suatu komisi khusus untuk mempelajari dan menyusun rencana pembangunan bidang komunikasi tersebut.
Salah satu faktor yang mendorong pembentukan komisi ini ialah guna mencari pemecahan masalah transportasi peralatan militer dan perlengkapan antara Uleelheu dengan Banda Aceh. Dengan belum dibangunnya jalan darat antara dua tempat itu, pemerintah Hindia Belanda mengalami banyak hambatan dalam pengangkutan barang-barang dan itu menyebabkan terhambatnya operasi-operasi militer.
Pada 26 Juni 1874 komisi yang bertugas itu membuat laporangnya dan mengusung agar di Uleelheue dibangun dermaga tempat pembongkaran barang-barang dari kapal, dan dari sana langsung dihubungkan dengan jalan kereta api ke Banda Aceh.
Usul ini mendapat persetujuan pemerintah Hindia Belanda dan sejak tahun 1875. Dermaga tersebut mulai dibangun dan jalan kereta api antara Uleelheu dengan Banda Aceh mulai dibuka untuk umum.
Pada tahun-tahun permulaan pembukaan jalan kereta api, meskipun panjangnya belum lagi 5 kilometer tetap lebarnya seperti di Jawa yaitu 1,067 meter. Pembuatan jalan kereta api ini, sejak awal pembangunan jalan kerte api, dengan jelas terlihat bahwa unsur kepentingan militer Pemerintah Belanda di daerah ini amat berperan.
Oleh karena itu pula maka dapatlah dipahami apabila segera setelah rampungnya pembangunan jalan kereta api antara Uleelheu dengan Banda Aceh, prioritas selanjutnya dipusatkan kepada pembangunan jalan serupa ke Gle Kameng/Kambing di sebelah kiri Kreueng Aceh, jalan kereta api ini dibangun atas jalan yang telah terlebih dahulu ada, tetapi lebarnya hanya 0,75 meter. Dengan demikian, disamping jalan kereta api ini masih ada jalan yang telah dikeraskan, yang dapat dilewati oleh pedati.
Berhubung jalan kerat api ini dihubungkan langsung dengan jalan kereta api dari Uleelheue ke Banda Aceh yang telah dibangun sebelumnya maka jalan kereta api yang terdahulu itupun di perkecil menjadi 0,75 meter.
Berhubung jalan kereta api ini lebih kecil dibandingkan dengan jalan kereta api di pulau Jawa, membawa penguruh bagi pengembangan kereta api ini dimasa-masa berikutnya
Pengecilan jalan-jalan kereta api ini seluruhnya selesai dikerjakan pada tahun 1884.
Meskipun usaha membangun jalan kereta api ke Gle Kameng sampai tahun 1883 tidak berhasil dilaksanakan, tetapi usaha itu berhasil mencapai Lam Baro dan karena itu sejak tahun 1884 kereta api ini dibuka untuk umum.
Pembangunan jalan kerata api pertama dari Uleelheu ke Banda Aceh yang panjangnya 4 kilometer dan selanjutnya dari Banda Aceh ke Lam Baro yang panjangnya 7 kilometer sepenuhnya dibangun oleh zeni-bangunan pasukan Belanda.
Jalan kereta api di Banda Aceh dan sekitarnya menjadi lebih penting lagi dari sudut strategi militer Belanda ketika mulai diberlakukannya “sistim garis konsentrasi “ di Aceh Besar.
Kebijaksanaan umum pemerintah Belanda pada waktu itu ialah berusaha mengkosolidasikan kekuatannya pada daerah-daerah yang telah berhasil direbutnya dari orang-orang Aceh di Aceh Besar.
Mereka pada waktu itu tidak melakukan perluasan daerah, tetapi coba mempertahankan apa yang telah mereka kuasai saja. Daerah-daerah yang dianggap telah berada di bawah kekuasaannya itu dipertahankan sekuat tenaga dari serangan serangan Muslimin Aceh.
Guna membangun sistem pertahanan di dalam garis konsentrasi, dibangunlah beberapa benteng pertahanan Belanda. Benteng–benteng ini dihubungkan satu dengan lainnya oleh jalan kereta api.
Di samping jalan kereta api yang telah terlebih dahulu dibangun antara Uleelheue dengan Banda Aceh, sejak tahun 1885 pembangunan jalan-jalan kereta api yang menghubungkan berbagai benteng pertahanan itu berkembang dengan pesat.
Berhubung pembangunan jalan-jalan kereta api pada periode pertama ini semata-mata untuk kepentingan militer, maka fungsi ekonominya masih kurang diperhatikan.
Pada waktu sistem garis konsentrasi dihapuskan pada tahun 1896, jaringan kereta api antara Banda Aceh dengan daerah luar dapat ditambah. Jaringan-jaringan rel kereta api yang selama garis konsentrasi dianggap penting, tetapi dengan penghapusan itu tidak berguna lagi dan oleh karenanya dihapuskan. Pada tahun 1898 jaringan kereta api antara Banda Aceh ke Lam Baro berhasil diselesaikan.
Pada tahun 1901 seluruh jaringan kereta api di Aceh Besar berjumlah 58 kilometer dan karenanya bangunan stasiun dan bengkel di Banda Aceh perlu diperluas.
Dalam perkembangan selanjutnya ketika jalan kereta api berhasil menguhubungkan Banda Aceh dengan Langsa, dua bengkel besar dibangun di Sigli dan Langsa.
Rencana penyambungan jalan kereta api dari Seulimeum ke Pidie mulai dicanangkan Van Heutsz, Gubernur militer Belanda di Aceh pada tahun 1898. Rencana Van Heutsz ini berkaitan erat dengan ekspedisi-ekspedisi militer yang dijalankannya ke berbagai derah Uleebalang baik ke Pidie, pantai utara atau pantai timur.
Berhubungan dengan rencana Van Heutsz ini, sebuah komisi dari pulau Jawa yang dipimpin
Ir. A.W. Wijss membuat perkiraan anggaran yang dibutuhkan untuk merealisir
rencana itu.
Berhubung dengan medan yang sangat berat, pelaksanaan pekerjaan itu membutuhkan biaya yang cukup besar. diperkirakan biaya lebih dari tiga juta gulden.
Meskipun jaringan kereta api amat penting artinya bagi operasi-operasi militer, berhubung dengan pembiayaan yang sangat besar , maka rencana penyambungan jalan kereta api antara Banda Aceh dengan daerah Pidie terpaksa ditunda dulu.
Meskipun demikian pembangunan jalan kereta api antara Keude Breuh dengan Sigli di sebelah lain dari gunung Seulawah sepanjang 18 kilometer berhasil diwujudkan pada tahun 1899.
Van Hautsz yang berkunjung ke Batavia (Jakarta) berhasil menyakinkan pejabat pemerintah Hindia Belanda di sana tentang arti penting pembangunan jalan kereta api di sepanjang pantai utara dan timur Aceh.
Menurutnya, pembangunan kereta api itu tidak saja menunjang tujuan-tujuan militer tetapi juga akan sangat menunjang politik “pasifikasi” yang dijalankan pemerintah Belanda di Aceh melalui perbaikan perekonomian rakyat.
Selain itu perbaikan sarana jalan ini juga dapat dipergunakan untuk menarik minat penanaman modal asing ke daerah Aceh.
Rencan Van Heutsz ini mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda di Batavia dengan pemberian angaran untuk perpanjangan jalan kereta api antara Sigli ke Lhok Seumawe pada tahun 1900.
Berhubung jalan utama kereta api ini harus melalui kenegerian Samalanga yang pada waktu itu masih melakukan perlawanan yang keras terhadap kekuasaan Hindia Belanda, barulah pada tahun 1904 jalan kereta api itu berhasil dibangun.
Dari jalan utama itu suatu cabang dari Beureunuen ke Lammeulo(sekarang: Kota Bakti – TA) berhasil dibangun pada tahun 1913.
Pembangunan jalan kereta api dari Lhok Seumawe ke Idi dan ke Kuala Langsa dalam tahun-tahun berikutnya, meskipun berlangsung secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit berhasil juga dibangun dengan sempurna.
Jalan kereta api yang tersisa, yang belum dibangun antara Seulimeum dengan Keude Breuh, dimulai pembuatannya pada tahun 1903 dan pada tahun 1908 berhasil diselesaikan.
Dengan demikian sejak tahun itu, jaringan kereta api dari Banda Aceh berhasil dihubungkan dengan daerah Pidie, Aceh utara dan Aceh timur.
Pada tahun 1910 diputuskan untuk meneruskan pembangunan jalan kereta api dari Kuala Langsa ke Kuala Simpang, dan sejak 1912 sampai ke Pangkalan Susu, jaringan kereta kapi Aceh berhasil dihubungkan langsung dengan kereta api Deli sejak tahun 1919.
Dengan penggalangan ini berarti kereta api Aceh yang pada mulanya dimaksudkan untuk kepentingan-kepentingan militer saja, berubah fungsinya menjadi sarana penting dalam kegiatan ekonomi
Komoditi ekspor baru seperti karet dan kelapa sawit yang mulai dihasilkan oleh daerah Aceh timur sejak pertengahan kedua abad ini dengan mudah diangkut kepelabuhan pengekspor, baik melalui Kuala Langsa maupun pelabuhan Belawan di Sumatera Utara.
Disamping itu berbagai produksi rakyat setempat dengan mempergunakan kereta api lebih mudah mencapai pasar.
Bagaimana sikap masyarakat Aceh terhadap munculnya kereta api di daerah ini, adalah persoalan yang menarik juga untuk dibahas. Secara garis besar terdapat dua bentuk dalam dua periode waktu, sesuai dengan pola kebijaksanaan kolonial dalam bidang perkeretaapian di Aceh.
Pada periode pertama pembangunan jaringan kereta api itu, sampai kira-kira dengan tahun 1910, dimana pemerintah kolonial lebih menitik beratkan sebagai alat pasifikasi, yang menunjang operasi-operasi militer, masyarakat Aceh memandang kereta api sebagai alat yang dipergunakan untuk menaklukkan mereka.
Oleh karena itu dapatlah dimengerti apabila masyarakat Aceh, kaum pejuang merusak jalan-jalan kereta api tersebut. Akibat seringnya terjadi pengrusakan tersebut menyebabkan hampir setiap kali rangkaian gerbong kereta api yang mengangkut penumpang dan barang yang akan menuju sesuatu stasiun tujuan, terlebih dahulu didahului oleh sebuah lokomotif khusus dan tersendiri yang bertugas untuk memeriksa jalan.
Apabila keadaan jalan cukup aman, barulah rangkaian kereta api yang dibelakangnya dibenarkan untuk bergerak jalan.
Pembongkaran jalan-jalan kereta api dan jaringan telepon yang dilakukan oleh Muslimin Aceh tidak hanya terbatas pada pengrusakan yang dilakukan dengan alat-alat sederhana saja, tetapi juga dilakukan dengan meledakkan dinamit.
Tampaknya keahlian mempergunakan bahan peledak yang diajarkan oleh seorang warga Amerika Serikat kepada para pejuang Aceh sejak awal peperangan berhasil dikuasai dengan baik.
Warga Negara Amerika Serikat yang dimaksudkan ialah shepperd, yang selama delapan tahun berturut-turut sebelum pecahnya perang Belanda di Aceh berdiam di Samalanga.
Setelah masuk Islam dan menunaikan ibadah haji ia berganti nama Haji Husein. Sejak awal perang ia mengajarkan orang-orang Aceh untuk mempergunakan bahan peledak.
Pada waktu Teungku Chik Di Tiro mulai membangkitkan perlawanan di Pidie, ia menjadi orang yang dipercayai untuk mengurus perbekalan perang dari Pulau Pinang dan Singapura
Sikap kedua masyarakat Aceh terhadap kereta api ini, dalam periode ketika peperangan sudah mulai reda, dapat dikatakan bahwa mereka mulai dapat menerima kehadiran kereta api sebagai alat yang memudahkan mereka bergerak dari satu daerah ke daerah lain.
Meskipun selama perode ini beberapa kali terjadi, personil kereta api dibunuh oleh orang-orang Aceh, baik terhadap petugas stasiun, kondektur dan sebagainya, kejadian ini termasuk ke dalam kerangka “Aceh Modern”, atau pembunuhan yang dilakukan orang-orang Aceh terhadap pegawai-pegawai Belanda karena semangat anti kafir.
Sikap kedua ini tercermin dan bertambah banyaknya penumpang dan barang-barang yang diangkut dengan kereta api setiap tahun.
Seperti diketahui bahwa sejalan dengan pertumbuhan kereta api, sarana jalan mobilpun mendapat perhatian pemerintah pada waktu itu. Keadaan ini menyebabkan terjadinya persaingan di antara angkutan mobil dengan kerata api.
Menghadapi persaingan ini tarif angkutan kereta api beberapa kali mengalami penurunan. Meskipun demikian hanya sampai tahun 1938 dan 1939 kereta api di Aceh masih membawa keuntungan untuk perusahaan tersebut.
Kereta api di Aceh yang muncul sebagai produk kolonial sejak awal Belanda di Aceh sampai dengan berkhirnya kekuasaan Belanda pada tahun 1942 dapat berjalan dengan lancar.
Peranan kereta api sebagai sarana penunjang maksud-maksud militer dan ekonomi masih terus berlanjut selama masa pendudukan Jepang. 1942-1945. Hanya saja perlu dicatat bahwa beberapa jembatan penting dihancurkan oleh pasukan Jepang pada waktu mereka berusaha memasuki Aceh. Jembatan-jembatan ini kembali diperbaiki pada waktu Jepang menduduki Aceh.
Pada waktu tentara Sekutu berusaha mendaratkan pasukan di Indonesia pada akhir Perang Dunia II, beberapa stasiun perbengkelan dan jembantan kereta api di Aceh juga menjadi sasaran pemboman pesawat Sekutu.
Dalam pemboman yang ditujukan terhadap bengkel kereta api di Sigli, seorang pegawai Jepang yang bekerja di sana mati terkena bom sekutu tersebut di bawah sebuah mesin bubut Gasudenki, dan sampai sekarang kuburan itu masih belum dipindahkan ke tempat lain.
Kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh bom tentara Sekutu itu menjadi hambatan yang cukup besar bagi perkembangan kereta api di Aceh pada masa-masa sesudahnya di zaman kemerdekaan.
Dalam alam kemerdekaan kereta api menjadi urusan Djawatan Kereta Api (DKA), seterusnya berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) dan berubah lagi menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA).
Dalam masa ini kereta api amat berperanan dalam bidang ekonomi baik untuk alat pengangkut barang maupun penumpang.
Berhubung kereta api Aceh yang memiliki lebar jalan cukup kecil dibandingkan dengan kereta api di pulau Jawa yang juga cukup tersendat-sendatnya penggantian material yang dibutuhkan mengakibatkan terjadinya peleburan dari Exploitasi Aceh menjadi Inspeksi yang dimulai sejak 4 April 1972 digabungkan dengan Exploitasi Sumatera Utara dengan Kantor Inspeksi berkedudukan di Langsa
Sejak tahun enam puluhan kereta api yang menghubungkan Banda Aceh dengan Sigli mulai mengalami hambatan karena kurang tersedianya lokomotif dan pemeliharaan jalan yang tidak memadai
Memasuki tahun tujuh puluhan, jalur kereta api ini menjadi terhenti, sementara itu kereta api antara Sigli dengan Lhokseumawe dan Besitang masih dapat dipertahankan, tetapi pada akhirnya jalur ini juga mengalami kemacetan.
Pada tahun 1978 hanya lintas Langsa dengan Kuala Langsa sepanjang 9 kilometer yang masih dapat berjalan. Sejak 2 Mei 1980 lintasan terakhir yang pendek itu pun pada akhirnya terpaksa dihentikan karena lokomotif terakhir yang selama ini menjalani trayek itu rusak dan tidak mungkin diperbaiki kembali.
Dengan terhentinya trayek itu seluruh kegiatan kereta api di
Aceh yang dimulai dari kilometer kilometer pertama pada tahun 1876 berasal dari
dermaga di Uleelheue pun terkubur yang tertinggal sekarang ini
hanyalah jejak bekas yang semakin berkurang pula dan bukanlah hal yang mustahil
pada suatu saat nanti yang tinggal hanyalah gambar gambar yang ada di dalam
buku buku saja.
( Sumber : Atjeh Post , Minggu Kedua September 1989 halaman VI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar