Banyaknya karya ulama-ulama Aceh terkemuka terutama pada abad
ke-16 sampai abad ke-18 seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatra'i,
Nuruddin al-Raniri, Abdurauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, Fakih Jalaludin,
Teungku Khatib Langgien, Muhammad Zein, Abbas Kuta Karang, Teungku Chik di
Leupe (Daud Rumi), Jalaluddin Tursany, Jamaluddin ibn Kamaluddin, Zainuddin,
Teungku Chik Pante Kulu, dan banyak tokoh lainnya yang memiliki
karakteristik dan kekhasan serta identik dengan khazanah Islam lokal dan
universal.
Diantara kitab terkenal adalah (Bustan as-Salatin), yaitu salah
satu kitab fenomenal yang disusun pada abad ke-16 tepatnya pada masa Iskandar
Muda (1607-1636) sampai pada masa Sultan Iskandar Tsani (1636-1641), kitab ini
memberikan gambaran tentang Aceh dan kerajaannya pada periode ke-16 dan ke-17 M.
Pada masa tersebut, kitab inilah paling lengkap menceritakan
kisah raja-raja Melayu secara universal, khususnya kerajaan Aceh Darussalam,
termasuk merekam jejak perjalanan istana kerajaan Aceh dan struktural
kenegaraan, yang dikarang oleh seorang ulama berasal dari negeri anak benua,
Hindustan (India) bernama Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibn
Muhammad Hamid ar-Raniri.
Nuruddin ar-Raniry seorang ulama dan negarawan yang telah
berhasil memberikan sumbangsih sejarah melalui kitab Bustan as-Salatin pada
saat pengabdiannya di Aceh, menurut sejarawan untuk menyelesaikan kitab Bustan
as-Salatin dalam waktu relatif lama, namun tidak dapat dipastikan secara pasti
tahun berapa kitab itu mulai ditulis, hanya perkiraan tahun 1640 (1050 H) sudah
beredar dan menjadi bacaan para penghuni istana raja dan ulama-ulama Aceh.
Menurut Braginsky kitab Bustan as-Salatin ditulis antara tahun 1638-1641, hal
tersebut dapat terlilhat dari syair naskah Bustan as-Salatin berbunyi
"Ialah perkasa terlalu berani, Turun-temurun nasab Sultani, Ialah
menyunjung inayat Rahmani, Bergelar Sultan Iskandar Tsani", sebagian lain
berpendapat bahwa Bustan as-Salatin sudah diisyaratkan kajiannya dalam kitab
Asrar al-Insan fi Ma'rifah al-Ruh wal Rahman, juga karya Nuruddin as-Raniry
usai dikarang pada tahun 1640 M (1050 H).
Nuruddin ar-Raniry berasal dari Ranir (Randir) Gujarat, India,
sebagai foreigner menjadi asing bagi masyarakat Aceh, namun ia sudah banyak
mengetahui tentang Melayu khususnya Aceh. Hal tersebut sangat dimungkinkan
memperoleh seluruh informasi tersebut dari pamannya Syekh Muhammad Jailani bin
Hasan Ar-Raniry, yaitu seorang ulama yang sudah berkarya sebelumnya di Aceh
sebagai da'i sekaligus pedagang. Ia adalah salah seorang dari sekian banyak
para pedagang dan mubaligh India yang mengajar dan berbisnis di Aceh dari satu
generasi ke generasi lain secara turun temurun, maka dipastikan Nuruddin
ar-Raniry sudah menguasai bahasa Melayu dan aksara Jawi sebelum menginjak
kakinya di Aceh.
Ada sekitar 30 lebih judul kitab karya Nuruddin ar-Raniry dalam
pelbagai disiplin bidang ilmu dan kajian mayoritasnya beraksara Jawi berbahasa
Melayu, diantaranya Kitab As-Sirath al-Mustaqim, Durrat al-Faraid bi Syarh
al-'Aqaid, Hidayat al-habib fi al Targhib wa'l-Tarhib, Bustanus as-Salatin fi
Zikr al-Awwalin Wal Akhirin, Latha'if al-Asrar, Asrarul Insan fi Ma'rifat
al-Ruh wa al-Rahman, Tibyan fi Ma'rifat al-Adyan, Akbar al-Akhirah fi Ahwal
al-Qiyamah, Hill al-Zill, Ma'ul Hayat li Ahlil Mamat, Jawahirl 'Ulum fi Kasyfil
Ma'lum, Syifa'ul Qulub, Hujjat as-Shiddiq Lidaf'il Zindiq, Fathul Mubin 'alal
Mulhidin, dan kitab lain sebagainya.
Kitab Bustanus as-Salatin lah menjadi salah satu bacaan para
kediaman kerajaan Aceh, secara prikologis kitab tersebut memiliki nilai
historis yang bernilai tinggi yang menjadi rujukan para sejarawan dan research
dalam melakukan berbagai kajian dari dulu hingga kini. Penggunaan bahasa Melayu
(beraksara Jawi) sebagai bahasa resmi baik dibidang politik, dagang, agama, dan
budaya, di Aceh sejak abad ke-15 telah mendorong perkembangan tradisi tulis dan
tradisi keilmuan yang sangat pesat di wilayah ini hingga abad-abad berikutnya,
khususnya abad ke-16 dan ke-17 ketika kesultanan Aceh menggapai masa
keemasannya.
Berdasarkan rekaman sejarah, kitab Bustan as-Salatin menjadi
perintis perdana yang mengupas tentang historikal kerajaan yang bersifat
teologis sekaligus historis. Disebut teologis sebab mengurai keesaan Tuhan dan
segala wujud tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan proses tersebut,
sekaligus disebut historis karna merangkup perjalanan raja-raja Aceh. Menurut
Teuku Iskandar dalam bukunya, karya Nuruddin ar-Raniry mengikuti jejak kitab
karya ulama sebelumnya Bukhari al-Jauhari berjudul Taj as-Salatin, jika
ditinjau dari beberapa sisi ada persamaan, namun juga terdapat banyak
perbedaannya, sebab kitab Taj as-Salatin disusun lebih berat pada titik
religious cultures yang ditujukan kepada raja-raja Iran (Parsi), yaitu tidak
lain merupakan ilustrasi untuk konsepsi etika dalam membentuk harmoni peradaban
manusia dan alam ini.
Sedangkan kitab Bustan as-Salatin adalah sebuah kitab yang
bersifat religious histories, yaitu terfokus pada teologi-historis dimana
didalamnya dilukiskan gambaran dinamis tentang penciptaan alam semesta dan
kelanjutan prosesnya, namun tak terlepas dari etik dan syariat yang diutamakan.
Dan dalam naskah Bustan as-Salatin inilah jelas dan tegas memasukkan sejarah
bangsa Melayu ke dalam sejarah dunia yang dipaparkan sebelumnya, dan khususnya
perjalanan sejarah Kerajaan Aceh sebagai Dar as-Salam (Darussalam). Demikian
juga menurut Hooykaas menyebutkan jika dibandingkan dengan Sejarah Melayu
karangan Tun Sri Lanang yang disebut Paduka Raja dalam Bustan as-Salatin, maka
kitab ini (Bustan as-Salatin) lebih bersifat pengetahuan, baik agama, sejarah
dan nasehat (etika).
Kitab masyhur ini kemudian menjadi bacaan para alim ulama dan
raja-raja setelah Sultan Iskandar Tsani, seperti Sultanah Safi al-Din Taj
al-Alam (1641-1675), Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678) sampai kepada abad ke
18 pada masa Sultan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760), perubahan ideologi
karakteristik masyarakat Aceh pada saat itu berubah terhadap hadirnya penjajah
di Aceh, dalam kondisi ini posisi kerajaan mulai beralih pada pertahanan dan
penguatan wilayah daripada pengembangan intelektual masyarakat, namun peranan
ulama pada era ini sangat penting untuk menjaga persatuan ummat dan semangat
patriotisme.
Dalam Bustan as-Salatin juga digambarkan patriotisme dan
peperangan masa kerajaaan, dapat dikatakan naskah ini merupakan kitab perdana
di dunia Melayu (Nusantara) yang berbentuk gubahan ensiklopedis yang
menggabungkan genre universal histories dengan 'cermin didaktis'. Menurut
Braginsky bahwa kitab ini sangat tebal sehingga tidak tersimpan semua bab dalam
satu bundel, dan biasanya naskah-naskahnya berisi hanya satu atau dua-tiga bab
tertentu. Namun, jika mengupas isinya maka bisa ditemukan antar bab dan pasal
saling bersinambungan dan berkaitan, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa
kitab ini dikarang secara periodik dan kontinue.
Menilik isinya, naskah Bustan as-Salatin yang terbagi kepada 7 (tujuh) bab dan terdiri dari 40 (empat puluh) pasal, pembahasannya dimulai dari wujud penciptaan Alam ini, penciptaan Nur Muhammad, Malaikat dan segala bentuk perwujudan, kemudian pada bab selanjutnya uraian wilayah kekuasaan Aceh dan Melayu, histografi dan silsilah Sultan Aceh serta kemegahan dengan segala hukum dan qanun yang diterapkan dalam menjalankan roda pemerintahan dan hubungannya dengan negara-negara luar Aceh, baik diplomasi maupun perebutan kedaulatan di wilayah sekitar seperti Deli, Johor, Malaka, Kedah dan Pattani (Thailand Selatan). Pada bab inilah yang menjadi patokan para sejarawan menelusuri silsilah dan potret kerajaan Aceh serta 'patron' dalam penegakan hukum syariat Islam dimasa keemasan Kesultanan Aceh.
Dapat dibayangkan gambaran uraian dalam naskah Bustan as-Salatin tentang kemegahan kerajaan Aceh Dar ad-Donya as-Salam "Syahdan, di darat Balai Keemasan yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, di dalam istana ada Maligai Mercu Alam, dan Maligai Daulat Khana dan Maligai Cita Keinderaan dan Medan Khayali, dan aliran sungai Dar al-Isyki itu suatu dan terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Khairani yang amat luas. Dan pada sama tengah medan itu Gegunungan Menara Permata, tiangnya dari tembaga, dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, adalah dalamnya beberapa permata puspa ragam, dan Sulaimani dan Yamani".
Pada bab-bab selanjutnya diuraikan tentang etika seorang
pimpinan, penegakan hukum dan keadilan, sosial dan komunitas masyarakat Melayu
serta patriotisme yang zuhud dan wara', hikayat didalam naskah ini tidak
terlepas dari local history dan adat-istiadat yang terjadi di kerajaan Aceh
untuk melukiskan kehidupan antara kerajaan dan masyarakat yang majemuk. Pada
bab terakhir (bab 7) membagi pembahasan kepada bermacam tema dan topik seperti
pengajaran, pendidikan, pengabdian, masalah Nisa' dan juga khusus pada bab ini
Nuruddin ar-Raniry berpolemik dengan berbagai kisah mistis dan ganjil sebagai
i'tibar bagi pembaca.
Selaras dengan perkembangan dunia pernaskahan, pada pertengahan
abad ke-19 tepatnya pada awal agresi Belanda ke Aceh pada tahun 1873 M, perang
paling terpanjang dalam catatan sejarah dan penyerangan besar-besaran ke Aceh,
telah menjadikan perhatian ilmuwan dan rakyat Aceh terhadap karya-karya ulama
spektakuler terabaikan, pada saat yang sama perhatian rakyat Aceh tertuju
kepada perjuangan fisik (perang) mengusir penjajah dari tanah kelahirannya.
Situasi ini dimanfaatkan oleh Barat (penjajah) untuk memboyong karya-karya
ulama ke luar negeri, walau sebagian kecil peran ulama menyelamatkan naskah
dengan mengkaji dan memperbanyak di dayah-dayah sekaligus menjadi benteng
perjuangan seperti apa yang terjadi di Zawiyah Tanoh Abee, Awe Geutah dan di
dayah-dayah lainnya.
Dan kini, dalam penelusuran inventarisasi dan konservasi
manuskrip karya ulama-ulama Aceh sangat jarang ditemukan, pada kajian
inventarisir naskah Bustan as-Salatin yang menjadi cikal bakal pengungkapan
sejarah keemasan dan kejayaan kerajaan Aceh sudah tidak ditemukan lagi sumber
asli, kitab fenomenal tersebut menjadi misteri di negerinya sendiri, tidak
ditemukan koleksi kitab ini baik di Museum Negeri Aceh maupun di koleksi
perpustakaan swasta yang ada di Aceh. Tentunya, sangat disayangkan dengan
hilang dan luputnya pelestarian naskah berharga di negeri ini, walau sudah
dapat dipastikan bahwa manuskrip karangan asli tangan pengarang (autograph)
telah musnah.
Dalam dunia pernaskahan, para ilmuwan telah menyusun berbagai
katalog naskah-naskah kuno untuk dapat menginventarisir karya khazanah warisan
leluhur, dalam penelusuran ini ditemukan bahwa sebagian salinan kitab Bustan
as-Salatin hanya tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta dalam versi
tidak lengkap, sedangkan lainnya satu bundel naskah di Perpustakaan Universitas
Malaya di Malaysia dari bab I, III sampai V, serta dua naskah berada di
Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda juga dalam versi tidak lengkap. Sedangkan
di tanah kelahirannya belum ditemukan kitab masyhur ini yang pernah
mengharumkan nama Aceh Darussalam di kancah dunia. Namun cahaya lilin belum
redup, tentu masih ada secercah harapan untuk memberikan perhatian lebih kepada
semua karya ulama-ulama indatu, mengungkapkan sejarah dan identitas keacehan
lebih mendalam, mengkaji isi teks naskah serta kekayaan khazanah karun Aceh
yang tak pernah khatam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar