Home

Selasa, 02 Januari 2024

KISAH TAMIANG


PANGLIMA LEMBING DAN DATOK TEGAP

apa tanda orang aniaya,
lupa diri tak ingat asalnya
kepada orang semena-mena
setan dan iblis kawan setianya

lupa diri, binasa sendiri
lupa diir, hidup terkeji
lupa diri, musnahlah budi
lupa diri, binasalah kaji
lupa diri, akal pun mati



Alkisah, di daerah Hulu Tamiang, hiduplah seorang laki-laki bernama Abang sehak. Kerjanya setiap hari hanya membuat kekacauan di mana-mana, seperti mencuri dan merampas barang milik orang lain.

Pada suatu hari, Abang sehak menunggu warga yang membawa hasil kebunnya untuk di jual ke pasar. Setelah beberapa saat menunggu, tampaklah dari kejauhan seorang laki-laki setengah baya sedang memikul keranjang berisi sayur-sayuran dan buah-buahan.

"Hmmm... ini dia yang kutunggu-tunggu! Aku akan mengambil barang-barang si tua bangka itu dari belakang. Pasti dia tidak akan tahu!" gumam Abang sehak.

Setelah beberapa jauh orang tua itu melewati tempat persembunyiannya, secara diam-diam Abang sehak membuntutinya sambil berjingkat-jingkat. Ia hendak mengambil buah-buahan yang ada di keranjang belakang orang tua itu. Namun tanpa disadarinya, ternyata orang tua itu adalah seorang pendekar silat yang berilmu tinggi, bernama Long dulah yang terkenal dengan panggilan Datok tegap. Banyak orang yang datang berguru kepadanya.

Menyadari ada orang yang mengikutinya, Datok Tegap langsung membentak:

"Hai, jangan main-main!"

Alangkah terkejutnya Abang Sehak mendengar bentakan itu, apalagi ketika orang tua itu menoleh kepadanya. Ternyata orang tua itu adalah Datok Tegap, guru silat yang cukup disegani di tanah Tamiang.

"Oh, maaf Datok! Bagaimana Datok dapat mengetahui kalau saya ada di belakang Datok? Apakah Datok mempunyai ilmu batin?" tanya Abang sehak.

"Tidak... Tidak...! Aku tidak mempunyai ilmu apa-apa. Aku hanya menebak-nebak saja, dan kebetulan tebakanku benar," jawab Datok Tegap sambil terus berlalu tanpa menghiraukan Abang sehak.

Namun, Abang Sehak terus membuntutinya.

"Tidak usah berbohong Datok! Datok pasti mempunyai ilmu batin. Saya mohon ajarkanlah kepada saya Datok!" pinta Abang Sehak.

Setelah beberapa kali Abang Sehak memohon barulah Datok Tegap mengaku bahwa dia memang mempunyai ilmu batin. Ia pun bersedia mengajarkan ilmunya, asalkan Abang Srhak mau memenuhi satu syarat.

"Baiklah, Abang Sehak! Aku bersedia mengajarimu asalkan kamu mau merubah perilakumu yang suka membuat kekacauan di desa ini," ujar Datok Tegap.

"Baiklah, Datok! Aku berjanji tidak akan membuat kekacauan lagi," kata Abang Sehak  berjanji.

"Kalau begitu, datanglah besok ke rumah!" kata Datok Tegap seraya melanjutkan perjalanan menuju ke pasar.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Abang Sehak pergi ke rumah Datok Tegap. Saat ia memasuki pekarangan rumah Datok tegap, tampaklah sejumlah murid-murid Darok sedang berlatih ilmu silat dan batin.

"Wah, ternyata Datok mempunyai banyak murid. Kenapa tidak dari dulu aku berguru kepada Datok ?" gumamnya dengan perasaan menyesal.

Melihat kedatangan Abang Sehak, Datok Tegap segera menyuruhnya duduk untuk diberikan pengarahan. Setelah itu, Abang Sehak pun ikut berlatih bersama murid-murid Datok Tegap lainnya. Sejak itu, ia menjadi murid Datok Tegap. Ia termasuk murid yang cerdas dan dapat memahami dan menguasai jurus-jurus yang diajarkan kepadanya dengan sempurna. Tak heran, jika Datok Tegap  sangat menyayanginya dan rela memberikan semua ilmu yang dimilikinya.

Setelah menguasai semua ilmu yang diberikan oleh Datok Tegap, Abang Sehak berpamitan kepada gurunya hendak merantau ke tanah Tanah Melayu ( Malaysia) untuk memperbaiki hidupnya.

"Terima kasih, Guru! Ilmu yang guru berikan akan saya gunakan untuk kebaikan," ucap Abang Sehak.

"Aku pun berharap demikian, Muridku," kata Datok Tegap seraya berpesan kepada Abang Sehak dengan untaian pantun dan syair seperti berikut ini:

wahai ananda hamba ber amanat,
simak olehmu petuah amanah
peganglah dengan hati yang bulat
semoga Tuhan memberimu berkah

maka seperti kata orang tua-tua:
sebelum melangkah pegang petuah
sebelum berjalan amanah dipadan
untuk bekal ananda berjalan

manfaatkan ilmu pada yang terpuji
menjaga diri membela negeri

manfaatkan ilmu pada yang patut,
supaya tak sia-sia ananda menuntut

ilmu jangan dipermain-mainkan
pantang sekali dilagak-lagakkan

ilmu jangan disia-siakan,
amalkan olehmu pada kebajikan
berbuat baik engkau kekalkan
tolong menolong engkau utamakan

tiru olehmu ilmu padi,
semakin merunduk semakin berisi.


Setelah berjanji untuk melaksanakan semua nasehat gurunya, Abang Sehak pun berlayar ke Tanah Melayu dengan menumpang kapal milik Haji Jali dari Pantai Hilir Tamiang. Selama di perjalanan, Haji Jali pun senantiasa memberinya nasehat.

"Wahai, Abang Sehak! Sesampainya di Tanah Melayu, kamu harus pandai-pandai menjaga mulut, karena adat penduduk di sana berbeda dengan adat kita di kampung," pesan Haji Jali.

"Apakah itu, Pak Haji?" tanya Abang Sehak penasaran.

"Jika kamu mendengar ayam berkokok tiga kali berturut-turut bukan pada waktunya, jangan kamu jawab! Jika kamu menjawabnya, berarti kamu telah melawan adat Tanah Melayu. Sebagai hukumannya, kamu harus bertarung melawan Panglima Tanah Melayu," ujar Haji Jali.

"Oh, begitu!" kata Abang Sehak sambil tersenyum.

Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, tibalah mereka di Tanah Melayu bersamaan waktu magrib. Saat mereka menginjakkan kaki di pelabuhan, terdengarlah suara ayam jantan berkokok tiga kali berturut-turut. Tanpa disadarinya, Abang Sehak menjawab kokokan ayam tersebut.

"Kokkokokkooo...!!!" demikian suara Abang Sehak.

Rupanya, jawaban kokokan ayam Abang Sehakterdengar oleh mata-mata Raja Melayu yang sedang berjaga-jaga di Pelabuhan. Mata-mata itu pun segera melaporkan hal itu kepada Raja.

"Ampun, Baginda! Hamba mendengar suara ayam jantan yang baru saja berlabuh di pelabuhan," lapor mata-mata itu.

"Pengawal! Carilah ayam jantan dari negeri seberang itu yang telah berani menantang adat Tanah Melayu!" perintah sang Raja.

Mendengar perintah tersebut, beberapa pengawal istana segera menuju ke pelabuhan untuk mencari ayam jantan itu, dan membawanya ke istana untuk dihadapkan kepada Raja. Tak berapa lama kemudian, para pengawal itu pun kembali bersama Abang Sehak.

"Hai, orang asing! Siapa kamu ini, berani-beraninya menentang adat negeri ini?" tanya Raja Melayu dengan nada membentak.

"Ampun, Baginda! Hamba seorang perantau dari Tamiang. Orang-orang memanggilku Abang Sehak. Mohon ampun jika hamba telah melanggar adat negeri ini!" Abang Sehak memohon kepada Raja Melayu sambil memberi hormat.

"Asal kamu tahu saja, Abang Sehak! Siapa pun yang melanggar adat negeri ini, maka ia harus menerima hukuman, yaitu bertarung melawan Panglima Tanah Melayu," ujar Raja Melayu.

"Ampun, Baginda! Hamba bersedia menerima hukuman ini. Tapi, berilah hamba waktu tiga hari untuk memulihkan tenaga terlebih dahulu. Hamba sangat kelelahan setelah berhari-hari berlayar terombang-ambing di tengah laut," pinta Abang Sehak.

Setelah berunding dengan panglimanya, sang Raja pun memenuhi permintaan Abang Sehak. Sambil menunggu hari pertarungan itu tiba, Abang Daud tinggal di rumah Haji Jali. Agar Abang Sehak tidak melarikan diri kembali ke negerinya di Tamiang, Raja Melayu mengutus beberapa orang pengawalnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Haji jali.

Pada malam harinya, usai makan malam, juragan kapal itu berbincang-bincang dengan Abang Sehak.

"Hai, Abang Sehak! Aku sudah berkali-kali menasehatimu, tapi kamu tetap saja melanggar adat negeri ini. Akhirnya, kamu terima sendiri akibatnya," ujar Haji Jali.

"Tidak usah khawatir, Pak Haji! Semoga saja saya bisa mengatasi masalah ini sendiri. Saya mohon maaf jika telah merepotkan Pak Haji," kata Abang Sehak dengan tenangnya.

Pada hari yang telah ditentukan, Abang Sehak datang menghadap sang Raja untuk menepati janjinya. Tak ketinggalan pula Haji Jali bersama warga Tamiang Yang ada disekitaran istana Kerajaan Melayu  untuk menyaksikan pertarungan tersebut. Sebagai sesama orang Tamiang, mereka senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada Abang Sehak agar selamat dari kematian.

Saat rombongan Abang Sehak memasuki halaman istana, tampak seluruh keluarga istana dan para pengawal Raja telah memadati sekitar arena pertarungan yang telah disiapkan. Sesekali terdengar suara ejekan dari para penonton yang meremehkan kemampuan Abang Sehak.

"Ah, orang itu kemari hanya untuk mengantarkan nyawa. Dia pasti akan mati terkapar di atas arena melawan Panglima Tanah Melayu," ucap seorang pengawal.

Sementara itu, saat melihat kedatangan Abang SEhak, Raja Melayu  segera memerintahkan hulubalangnya untuk menyediakan berbagai jenis senjata dan menyuruh Abang Sehak memilih senjata yang dikehendakinya. Abang Sehak memilih sebuah Tongkat lembing.

"Baiklah, kalau itu pilahanmu. Pertarungan akan segera dimulai. Apakah kamu sudah siap, wahai Abang Sehak?" tanya Raja Melayu meyakinkan Abang Sehak.

"Hamba siap, Baginda!" jawab Abang Sehak seraya berjalan menuju ke arena yang telah disediakan di halaman istana.

Ketika kedua petarung itu berada di atas arena, Raja Haji bersama rombongannya dari Tamiang semakin cemas akan menyaksikan pertarungan itu. Lain halnya dengan seluruh masyarakat Tanah Melayu, mereka bersorak gembira sambil terus merendahkan Abang Sehak. Mereka yakin bahwa panglima merekalah yang akan memenangkan pertarungan itu.

"Hai, Abang Sehak! Berdoalah sebelum nyawamu melayang!" celetuk salah seorang penonton dari Tanah Melayu.

"Iya, Abang Sehak! Berpesanlah kepada orang-orang Tamiang sebelum kamu mati sia-sia di tangan Panglima kami!" tambah seorang penonton lainnya dari Tanah Melayu.

Abang Sehak hanya tersenyum mendengar ejekan-ejekan yang dilontarkan kepadanya. Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai. Panglima Tanah Melayu mengawali pertarungan itu dengan terlebih dahulu menyerang, sedangkan Abang Sehak hanya menangkis dan menghindar dari serangan-serangan yang datang secara bertubi-tubi. Berkali-kali Panglima Tanah Melayu melancarkan serangan, berkali-kali pula Abang Sehak dapat berkelit dan menghindarinya. Ketika melihat Panglima Tanah Melayu mulai kelelahan, Abang SEhak berbalik menyerang. Hanya dengan beberapa jurus saja, Abang Sehak berhasil memainkan lembing nya tepat pada lambung kiri Panglima Tanah Melayu. Seketika itu pula, Panglima kebanggaan Tanah Melayu itu jatuh terkapar tak sadarkan diri.

Seluruh masyarakat Tanah Melayu yang menyaksikan pertarungan itu terkejut, terutama Raja Melayu. Sang Raja benar-benar tidak pernah mengira sebelumnya bahwa Abang Sehak adalah pendekar yang sangat tangguh dan sakti. Sedangkan masyarakat Tamiang yang semula hanya terdiam diselimuti perasaan cemas, tiba-tiba berteriak kegirangan menyaksikan kemenangan pendekar yang berasal dari tanah kelahiran mereka. Sebagai Raja yang arif dan bijaksana, Raja Melayu pun mengangkat Abang Sehak  menjadi Panglima Tanah Melayu dengan gelar Panglima lembing.

Sejak itu, Panglima Tanah Melayu dari Tamiang tersebut tinggal di istana Kerajaan Melayu dengan kehidupan serba mewah. Namanya pun semakin terkenal hingga ke berbagai negeri. Ia sangat disegani oleh masyarakat Tanah Melayu. Rupanya, pangkat, jabatan, dan ketenaran itu membuatnya lupa diri, penyakitnya mulai kambuh lagi. Ia selalu membuat kekecauan di mana-mana. Raja Melayu pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Pada suatu ketika, Abang Sehak yang bergelar Panglima Lembing itu kembali ke kampung halamannya. Di kampungnya, perilaku Panglima Lembing semakin menjadi-jadi, sehingga masyarakat Tamiang menjadi resah. Mendengar berita tersebut, Tumenggung Tamiang pun segera memerintahkan warga untuk menangkapnya. Namun, tak satu pun warga yang mampu mengalahkan kesaktiannya.

"Apa yang harus kita lakukan Tumenggung?" tanya seorang warga dengan risau dalam sebuah pertemuan desa.

"Hmmm... aku kira satu-satunya orang yang dapat menangkap Abang Sehak adalah gurunya sendiri. Apakah kalian mengetahui siapa guru Abang Sehak?" Tumenggung Mentok balik bertanya kepada warga.

"Hai, bukankah dia dulu pernah berguru pada Datok Tegap?" sahut seorang warga.

"Benar, Tumenggung! Dia adalah teman seperguruan saya dulu," tambah seorang warga lainnya.

Akhirnya, beberapa warga segera memanggil Datok Tegap. Tak berapa lama, guru Abang Sehak itu pun datang ke pertemuan desa tersebut.

"Maaf, para hadirin! Sebenarnya saya ragu untuk bisa menangkap Abang Sehak, karena saya telah memberikan seluruh ilmuku kepadanya," ungkap Datok Tegap.

Setelah didesak oleh para warga, Datok Tegap pun bersedia membantu dan segera mencari akal untuk dapat mengalahkan kesaktian muridnya itu. Saat itu pula, ia tiba-tiba teringat dengan satu kelemahan Abang Sehak. Dulu, Abang Sehak pernah bercerita kepadanya bahwa dia tidak bisa berenang. Oleh karena itu, ia akan membujuknya untuk menemaninya mengambil air di sungai. Pada saat itulah, ia akan mendorong Abang SEhak masuk ke dalam sungai.

Keesokan harinya, Datok Tegap pergi menemui Abang Daud. Namun, sebelum mengajak ke sungai, ia berusaha membujuk dan menasehati kembali murid kesayangannya itu.

wahai ananda dengarlah amanah,
kalau hidup peganglah wakil
kalau mati peganglah amanat
pegang petuah dengan amanah
pegang tunjuk dengan ajarnya

wahai ananda dengarlah amanah,
ingat-ingat engkau berjalan
jangan dengar bujukan setan
hawa nafsu jangan turutkan
pertolongan Allah engku mohonkan

hati hati engkau berjalan
petuah amanah jangan lupakan
tunjuk ajar jangan abaikan
ilmu di dada peganglah teguh


Mendapat nasehat dari gurunya, Abang Sehak bukannya berterima kasih, tetapi justru memaki-maki gurunya.

"Hentikan semua omong kosongmu itu Pak Tua! Aku sudah muak dengan semua nasehatmu!" bentak Abang Sehak.

 

1 komentar:

  1. kisah kisah legenda yang jarang di publikasi kan namun sering di ceritakan dalam dongeng2 atok andong pada jaman kele

    BalasHapus

banjer