Home

Senin, 04 Maret 2024

Aceh ( Meurah Perlak )




Di share dari catatan Fikar w eda.

Kisah kedatangan rombongan pedagang dari Persia di Blang Seupeung, pusat kerajaan Jeumpa yang saat itu masih menganut agama Hindu Purba.
Meurah Perlak
Salah seorang rombongan adalah putra kerajaan Persia yang ditaklukkan pada masa Khalifatuh Rasyidin, bernama Maharaj Syahriar Salman,keturunan Dinasti Sassanid yang pernah berjaya pada tahun 224-651 M. Syahriar menikah dengan putri istana Jeumpa bernama Mayang Seludang. Karena perkawinan ini Syahriar Salman memilih menetap di Perlak (sekarang Peurelak) salah satu kawasan kerajaan dibawah pimpinan Meurah Perlak
Meurah Perlak yang tidak mempunyai anak, menganggap pasangan ini sebagai “anak”. Ketika meninggal, menyerahkan kerajaan kepada Maharaj Syahriar Salman sebagai anak.
Dari perkawinan tersebut, mereka mendapatkan empat orang putra dan seorang putri. Mereka adalah Syahir Nuwi, Syahir Dauli, Syahir Pauli dan Syahir Tanwi dan seorang putri bernama Tansyir Dewi. Keempat putra tersebut kemudian menjadi raja pada wilayah yang berbeda di Aceh.
Syahir Nuwi menjadi raja di Perlak menggantikan ayahnya (bergelar Meurah Syahir Nuwi), Syahir Dauli menjadi Meurah di negeri Indra Purba (sekarang Aceh Besar). Syahir Pauli menjadi Meurah di negeri Samaindera (sekrang Pidie) dan Syahir Tanwi menjadi Meurah Jeumpa menggantikan kakeknya (kelak mereka dikenal dengan “Kaom Imuem Tuha Peut"-Penguasa yang empat).
Dengan demikian, kawasan sepanjang Selat Malaka di kuasai oleh keturunan Maharaj Syahriar Salman, keturunan sassanid Persia dan Dinasti Jeumpa (sekarang Bireuen).
Sementara Tansyir Dewi menikah dengan Sayid Maulana Ali Al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang tiba di Perlak (tahun 173H/800M). Dari perkawinan itu menghadirkan seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz-Syah, yang setelah dewasa bergelar Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan pertama kerajaan Islam perlak (bertepatan satu Muharram 225 H).
Sayyid Maulana Ali Al-Muktabar, merupakan putra dari Sayid Muhammad Diba’i anak Imam Jakfar Asshadiq (Imam syiah ke-6) anak dari Imam Muhammad Al Baqir (imam syiah ke-5) anak dari Sayyidina Ali Muhammad Zainal Abidin, satu-satunya putra Sayyidina Husen (cucu Rasullullah SAW) yang merupakan putra dari Sayyidina Ali bin Abu Thalib yang menikah dengan putri Rasullullah, Siti Fatimah.
emua tanggapa

Rabu, 03 Januari 2024

CERITA GUA KEMANG ( ATOK KULOK )


Alkisah, hiduplah seorang peladang di kampung tersebut. Dia biasa dipanggil Atok (kakek) Kulok. Sebagai seorang peladang, Atok mau membuka hutan yang masih berada tidak jauh dari kawasan perkampungan untuk dijadikan lahan bercocok tanam.

Dalam perjalanan menuju lokasi tersebut, Atok bertemu dengan sesosok mahkluk bertubuh kecil dengan kakinya terbalik. Tumitnya menghadap ke depan dan jari kakinya ke belakang. Orang-orang menyebutnya Long Jernang.

“Mau kemana?” Long Jernang bertanya pada Atok. Atok menjelaskan bahwa dia mau membuka hutan untuk berladang padi. Long Jernang pun menawarkan bantuan kepada Atok, dengan syarat Atok tidak boleh membawa perempuan dan anak kecil ke ladangnya. Atok menyanggupinya, walaupun dia sendiri punya seorang istri yang baru saja melahirkan.

Akhir kata, Long Jernang dan kawan-kawannya membantu Atok membuka hutan. Dalam satu hari, lahan seluas tiga hektar selesai dibersihkan dan siap untuk ditanam. Sebelum senja, Atok kembali ke rumahnya. Di rumah, dia mengatakan kepada istrinya, bahwa lahan untuk ladang sudah selesai dibuka, dan besok dia akan mulai menanam padi. Dia juga meminta istrinya untuk menyiapkan benih padi yang akan ditanam besok.

Sang istri pun heran, bagaimana bisa lahan seluas tiga hektar dapat diselesaikan suaminya dalam waktu hanya satu hari. Dengan hati bertanya-tanya, dia tetap menyiapkan benih padi yang akan ditanam.

Keesokan harinya, Atok sudah berada kembali di ladangnya dengan membawa benih padi yang akan ditanam. Namun tak disangka, Long Jernang marah padanya karena dia telah mengingkari janji. Atok sama sekali tidak mengerti kenapa Long Jernang bisa menuduhnya seperti itu. Padahal dia tidak pernah membawa perempuan atau anak kecil ke ladangnya. Tiba-tiba saja, istri dan anak Atok sudah berada di belakangnya. Ternyata, istri Atok diam-diam mengikutinya karena rasa penasaran yang tak tertahankan. Perjanjian Atok dengan Long Jernang pun batal. Semuanya berubah menjadi hutan kembali seperti sedia kala. Mendapati itu, Atok marah besar. Namun apa daya, nasi sudah jadi bubur.

Besoknya, Atok kembali membuka hutan tersebut untuk dijadikan ladang padi. Selama berhari-hari akhirnya Atok pun berhasil membersihkannya. Ketika itulah ditemukan batu besar yang disebut Gua Kemang. Hingga saat ini, batu besar tersebut diyakini oleh masyarakat setempat sebagai rumah Long Jernang yang pernah membantu Atok.

 Long Jernang” merupakan bahasa Tamiang yang berarti jin atau roh. Seperti diceritakan  fisik dari Long Jernang seperti manusia, tapi lebih kecil. Bedanya lagi, kalau berjalan, kakinya terbalik, tumitnya menghadap ke depan sedangkan jari-jari kakinya ke arah belakang. “Itu kata orang yang sudah pernah melihatnya. Seperti orang bunian,” 



Selasa, 02 Januari 2024

KISAH TAMIANG


PANGLIMA LEMBING DAN DATOK TEGAP

apa tanda orang aniaya,
lupa diri tak ingat asalnya
kepada orang semena-mena
setan dan iblis kawan setianya

lupa diri, binasa sendiri
lupa diir, hidup terkeji
lupa diri, musnahlah budi
lupa diri, binasalah kaji
lupa diri, akal pun mati



Alkisah, di daerah Hulu Tamiang, hiduplah seorang laki-laki bernama Abang sehak. Kerjanya setiap hari hanya membuat kekacauan di mana-mana, seperti mencuri dan merampas barang milik orang lain.

Pada suatu hari, Abang sehak menunggu warga yang membawa hasil kebunnya untuk di jual ke pasar. Setelah beberapa saat menunggu, tampaklah dari kejauhan seorang laki-laki setengah baya sedang memikul keranjang berisi sayur-sayuran dan buah-buahan.

"Hmmm... ini dia yang kutunggu-tunggu! Aku akan mengambil barang-barang si tua bangka itu dari belakang. Pasti dia tidak akan tahu!" gumam Abang sehak.

Setelah beberapa jauh orang tua itu melewati tempat persembunyiannya, secara diam-diam Abang sehak membuntutinya sambil berjingkat-jingkat. Ia hendak mengambil buah-buahan yang ada di keranjang belakang orang tua itu. Namun tanpa disadarinya, ternyata orang tua itu adalah seorang pendekar silat yang berilmu tinggi, bernama Long dulah yang terkenal dengan panggilan Datok tegap. Banyak orang yang datang berguru kepadanya.

Menyadari ada orang yang mengikutinya, Datok Tegap langsung membentak:

"Hai, jangan main-main!"

Alangkah terkejutnya Abang Sehak mendengar bentakan itu, apalagi ketika orang tua itu menoleh kepadanya. Ternyata orang tua itu adalah Datok Tegap, guru silat yang cukup disegani di tanah Tamiang.

"Oh, maaf Datok! Bagaimana Datok dapat mengetahui kalau saya ada di belakang Datok? Apakah Datok mempunyai ilmu batin?" tanya Abang sehak.

"Tidak... Tidak...! Aku tidak mempunyai ilmu apa-apa. Aku hanya menebak-nebak saja, dan kebetulan tebakanku benar," jawab Datok Tegap sambil terus berlalu tanpa menghiraukan Abang sehak.

Namun, Abang Sehak terus membuntutinya.

"Tidak usah berbohong Datok! Datok pasti mempunyai ilmu batin. Saya mohon ajarkanlah kepada saya Datok!" pinta Abang Sehak.

Setelah beberapa kali Abang Sehak memohon barulah Datok Tegap mengaku bahwa dia memang mempunyai ilmu batin. Ia pun bersedia mengajarkan ilmunya, asalkan Abang Srhak mau memenuhi satu syarat.

"Baiklah, Abang Sehak! Aku bersedia mengajarimu asalkan kamu mau merubah perilakumu yang suka membuat kekacauan di desa ini," ujar Datok Tegap.

"Baiklah, Datok! Aku berjanji tidak akan membuat kekacauan lagi," kata Abang Sehak  berjanji.

"Kalau begitu, datanglah besok ke rumah!" kata Datok Tegap seraya melanjutkan perjalanan menuju ke pasar.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Abang Sehak pergi ke rumah Datok Tegap. Saat ia memasuki pekarangan rumah Datok tegap, tampaklah sejumlah murid-murid Darok sedang berlatih ilmu silat dan batin.

"Wah, ternyata Datok mempunyai banyak murid. Kenapa tidak dari dulu aku berguru kepada Datok ?" gumamnya dengan perasaan menyesal.

Melihat kedatangan Abang Sehak, Datok Tegap segera menyuruhnya duduk untuk diberikan pengarahan. Setelah itu, Abang Sehak pun ikut berlatih bersama murid-murid Datok Tegap lainnya. Sejak itu, ia menjadi murid Datok Tegap. Ia termasuk murid yang cerdas dan dapat memahami dan menguasai jurus-jurus yang diajarkan kepadanya dengan sempurna. Tak heran, jika Datok Tegap  sangat menyayanginya dan rela memberikan semua ilmu yang dimilikinya.

Setelah menguasai semua ilmu yang diberikan oleh Datok Tegap, Abang Sehak berpamitan kepada gurunya hendak merantau ke tanah Tanah Melayu ( Malaysia) untuk memperbaiki hidupnya.

"Terima kasih, Guru! Ilmu yang guru berikan akan saya gunakan untuk kebaikan," ucap Abang Sehak.

"Aku pun berharap demikian, Muridku," kata Datok Tegap seraya berpesan kepada Abang Sehak dengan untaian pantun dan syair seperti berikut ini:

wahai ananda hamba ber amanat,
simak olehmu petuah amanah
peganglah dengan hati yang bulat
semoga Tuhan memberimu berkah

maka seperti kata orang tua-tua:
sebelum melangkah pegang petuah
sebelum berjalan amanah dipadan
untuk bekal ananda berjalan

manfaatkan ilmu pada yang terpuji
menjaga diri membela negeri

manfaatkan ilmu pada yang patut,
supaya tak sia-sia ananda menuntut

ilmu jangan dipermain-mainkan
pantang sekali dilagak-lagakkan

ilmu jangan disia-siakan,
amalkan olehmu pada kebajikan
berbuat baik engkau kekalkan
tolong menolong engkau utamakan

tiru olehmu ilmu padi,
semakin merunduk semakin berisi.


Setelah berjanji untuk melaksanakan semua nasehat gurunya, Abang Sehak pun berlayar ke Tanah Melayu dengan menumpang kapal milik Haji Jali dari Pantai Hilir Tamiang. Selama di perjalanan, Haji Jali pun senantiasa memberinya nasehat.

"Wahai, Abang Sehak! Sesampainya di Tanah Melayu, kamu harus pandai-pandai menjaga mulut, karena adat penduduk di sana berbeda dengan adat kita di kampung," pesan Haji Jali.

"Apakah itu, Pak Haji?" tanya Abang Sehak penasaran.

"Jika kamu mendengar ayam berkokok tiga kali berturut-turut bukan pada waktunya, jangan kamu jawab! Jika kamu menjawabnya, berarti kamu telah melawan adat Tanah Melayu. Sebagai hukumannya, kamu harus bertarung melawan Panglima Tanah Melayu," ujar Haji Jali.

"Oh, begitu!" kata Abang Sehak sambil tersenyum.

Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, tibalah mereka di Tanah Melayu bersamaan waktu magrib. Saat mereka menginjakkan kaki di pelabuhan, terdengarlah suara ayam jantan berkokok tiga kali berturut-turut. Tanpa disadarinya, Abang Sehak menjawab kokokan ayam tersebut.

"Kokkokokkooo...!!!" demikian suara Abang Sehak.

Rupanya, jawaban kokokan ayam Abang Sehakterdengar oleh mata-mata Raja Melayu yang sedang berjaga-jaga di Pelabuhan. Mata-mata itu pun segera melaporkan hal itu kepada Raja.

"Ampun, Baginda! Hamba mendengar suara ayam jantan yang baru saja berlabuh di pelabuhan," lapor mata-mata itu.

"Pengawal! Carilah ayam jantan dari negeri seberang itu yang telah berani menantang adat Tanah Melayu!" perintah sang Raja.

Mendengar perintah tersebut, beberapa pengawal istana segera menuju ke pelabuhan untuk mencari ayam jantan itu, dan membawanya ke istana untuk dihadapkan kepada Raja. Tak berapa lama kemudian, para pengawal itu pun kembali bersama Abang Sehak.

"Hai, orang asing! Siapa kamu ini, berani-beraninya menentang adat negeri ini?" tanya Raja Melayu dengan nada membentak.

"Ampun, Baginda! Hamba seorang perantau dari Tamiang. Orang-orang memanggilku Abang Sehak. Mohon ampun jika hamba telah melanggar adat negeri ini!" Abang Sehak memohon kepada Raja Melayu sambil memberi hormat.

"Asal kamu tahu saja, Abang Sehak! Siapa pun yang melanggar adat negeri ini, maka ia harus menerima hukuman, yaitu bertarung melawan Panglima Tanah Melayu," ujar Raja Melayu.

"Ampun, Baginda! Hamba bersedia menerima hukuman ini. Tapi, berilah hamba waktu tiga hari untuk memulihkan tenaga terlebih dahulu. Hamba sangat kelelahan setelah berhari-hari berlayar terombang-ambing di tengah laut," pinta Abang Sehak.

Setelah berunding dengan panglimanya, sang Raja pun memenuhi permintaan Abang Sehak. Sambil menunggu hari pertarungan itu tiba, Abang Daud tinggal di rumah Haji Jali. Agar Abang Sehak tidak melarikan diri kembali ke negerinya di Tamiang, Raja Melayu mengutus beberapa orang pengawalnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Haji jali.

Pada malam harinya, usai makan malam, juragan kapal itu berbincang-bincang dengan Abang Sehak.

"Hai, Abang Sehak! Aku sudah berkali-kali menasehatimu, tapi kamu tetap saja melanggar adat negeri ini. Akhirnya, kamu terima sendiri akibatnya," ujar Haji Jali.

"Tidak usah khawatir, Pak Haji! Semoga saja saya bisa mengatasi masalah ini sendiri. Saya mohon maaf jika telah merepotkan Pak Haji," kata Abang Sehak dengan tenangnya.

Pada hari yang telah ditentukan, Abang Sehak datang menghadap sang Raja untuk menepati janjinya. Tak ketinggalan pula Haji Jali bersama warga Tamiang Yang ada disekitaran istana Kerajaan Melayu  untuk menyaksikan pertarungan tersebut. Sebagai sesama orang Tamiang, mereka senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada Abang Sehak agar selamat dari kematian.

Saat rombongan Abang Sehak memasuki halaman istana, tampak seluruh keluarga istana dan para pengawal Raja telah memadati sekitar arena pertarungan yang telah disiapkan. Sesekali terdengar suara ejekan dari para penonton yang meremehkan kemampuan Abang Sehak.

"Ah, orang itu kemari hanya untuk mengantarkan nyawa. Dia pasti akan mati terkapar di atas arena melawan Panglima Tanah Melayu," ucap seorang pengawal.

Sementara itu, saat melihat kedatangan Abang SEhak, Raja Melayu  segera memerintahkan hulubalangnya untuk menyediakan berbagai jenis senjata dan menyuruh Abang Sehak memilih senjata yang dikehendakinya. Abang Sehak memilih sebuah Tongkat lembing.

"Baiklah, kalau itu pilahanmu. Pertarungan akan segera dimulai. Apakah kamu sudah siap, wahai Abang Sehak?" tanya Raja Melayu meyakinkan Abang Sehak.

"Hamba siap, Baginda!" jawab Abang Sehak seraya berjalan menuju ke arena yang telah disediakan di halaman istana.

Ketika kedua petarung itu berada di atas arena, Raja Haji bersama rombongannya dari Tamiang semakin cemas akan menyaksikan pertarungan itu. Lain halnya dengan seluruh masyarakat Tanah Melayu, mereka bersorak gembira sambil terus merendahkan Abang Sehak. Mereka yakin bahwa panglima merekalah yang akan memenangkan pertarungan itu.

"Hai, Abang Sehak! Berdoalah sebelum nyawamu melayang!" celetuk salah seorang penonton dari Tanah Melayu.

"Iya, Abang Sehak! Berpesanlah kepada orang-orang Tamiang sebelum kamu mati sia-sia di tangan Panglima kami!" tambah seorang penonton lainnya dari Tanah Melayu.

Abang Sehak hanya tersenyum mendengar ejekan-ejekan yang dilontarkan kepadanya. Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai. Panglima Tanah Melayu mengawali pertarungan itu dengan terlebih dahulu menyerang, sedangkan Abang Sehak hanya menangkis dan menghindar dari serangan-serangan yang datang secara bertubi-tubi. Berkali-kali Panglima Tanah Melayu melancarkan serangan, berkali-kali pula Abang Sehak dapat berkelit dan menghindarinya. Ketika melihat Panglima Tanah Melayu mulai kelelahan, Abang SEhak berbalik menyerang. Hanya dengan beberapa jurus saja, Abang Sehak berhasil memainkan lembing nya tepat pada lambung kiri Panglima Tanah Melayu. Seketika itu pula, Panglima kebanggaan Tanah Melayu itu jatuh terkapar tak sadarkan diri.

Seluruh masyarakat Tanah Melayu yang menyaksikan pertarungan itu terkejut, terutama Raja Melayu. Sang Raja benar-benar tidak pernah mengira sebelumnya bahwa Abang Sehak adalah pendekar yang sangat tangguh dan sakti. Sedangkan masyarakat Tamiang yang semula hanya terdiam diselimuti perasaan cemas, tiba-tiba berteriak kegirangan menyaksikan kemenangan pendekar yang berasal dari tanah kelahiran mereka. Sebagai Raja yang arif dan bijaksana, Raja Melayu pun mengangkat Abang Sehak  menjadi Panglima Tanah Melayu dengan gelar Panglima lembing.

Sejak itu, Panglima Tanah Melayu dari Tamiang tersebut tinggal di istana Kerajaan Melayu dengan kehidupan serba mewah. Namanya pun semakin terkenal hingga ke berbagai negeri. Ia sangat disegani oleh masyarakat Tanah Melayu. Rupanya, pangkat, jabatan, dan ketenaran itu membuatnya lupa diri, penyakitnya mulai kambuh lagi. Ia selalu membuat kekecauan di mana-mana. Raja Melayu pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Pada suatu ketika, Abang Sehak yang bergelar Panglima Lembing itu kembali ke kampung halamannya. Di kampungnya, perilaku Panglima Lembing semakin menjadi-jadi, sehingga masyarakat Tamiang menjadi resah. Mendengar berita tersebut, Tumenggung Tamiang pun segera memerintahkan warga untuk menangkapnya. Namun, tak satu pun warga yang mampu mengalahkan kesaktiannya.

"Apa yang harus kita lakukan Tumenggung?" tanya seorang warga dengan risau dalam sebuah pertemuan desa.

"Hmmm... aku kira satu-satunya orang yang dapat menangkap Abang Sehak adalah gurunya sendiri. Apakah kalian mengetahui siapa guru Abang Sehak?" Tumenggung Mentok balik bertanya kepada warga.

"Hai, bukankah dia dulu pernah berguru pada Datok Tegap?" sahut seorang warga.

"Benar, Tumenggung! Dia adalah teman seperguruan saya dulu," tambah seorang warga lainnya.

Akhirnya, beberapa warga segera memanggil Datok Tegap. Tak berapa lama, guru Abang Sehak itu pun datang ke pertemuan desa tersebut.

"Maaf, para hadirin! Sebenarnya saya ragu untuk bisa menangkap Abang Sehak, karena saya telah memberikan seluruh ilmuku kepadanya," ungkap Datok Tegap.

Setelah didesak oleh para warga, Datok Tegap pun bersedia membantu dan segera mencari akal untuk dapat mengalahkan kesaktian muridnya itu. Saat itu pula, ia tiba-tiba teringat dengan satu kelemahan Abang Sehak. Dulu, Abang Sehak pernah bercerita kepadanya bahwa dia tidak bisa berenang. Oleh karena itu, ia akan membujuknya untuk menemaninya mengambil air di sungai. Pada saat itulah, ia akan mendorong Abang SEhak masuk ke dalam sungai.

Keesokan harinya, Datok Tegap pergi menemui Abang Daud. Namun, sebelum mengajak ke sungai, ia berusaha membujuk dan menasehati kembali murid kesayangannya itu.

wahai ananda dengarlah amanah,
kalau hidup peganglah wakil
kalau mati peganglah amanat
pegang petuah dengan amanah
pegang tunjuk dengan ajarnya

wahai ananda dengarlah amanah,
ingat-ingat engkau berjalan
jangan dengar bujukan setan
hawa nafsu jangan turutkan
pertolongan Allah engku mohonkan

hati hati engkau berjalan
petuah amanah jangan lupakan
tunjuk ajar jangan abaikan
ilmu di dada peganglah teguh


Mendapat nasehat dari gurunya, Abang Sehak bukannya berterima kasih, tetapi justru memaki-maki gurunya.

"Hentikan semua omong kosongmu itu Pak Tua! Aku sudah muak dengan semua nasehatmu!" bentak Abang Sehak.

 

Sabtu, 30 Desember 2023

KITAB BUSTAN AS-SALATIN ACEH

 


Aceh telah mewariskan pusaka khazanah berharga berupa naskah-naskah tulisan tangan (manuscripts) sejak beberapa abad yang lalu, negeri Serambi Mekkah bagi para ilmuwan filolog dikenal juga sebagai "Lumbung Naskah" tersimpan puluhan, atau bahkan ratusan ribu naskah dipastikan terdapat di nanggroe Rencong, yang sebagiannya kini sulit terjamah di negerinya sendiri, sedangkan sebagian lainnya tersimpan di sejumlah perpustakaan di luar Aceh, seperti Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, Perpustakaan Universitas Leiden dan Universiteitsbibliotheek di Belanda, Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) di Kuala Lumpur

Banyaknya karya ulama-ulama Aceh terkemuka terutama pada abad ke-16 sampai abad ke-18 seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatra'i, Nuruddin al-Raniri, Abdurauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, Fakih Jalaludin, Teungku Khatib Langgien, Muhammad Zein, Abbas Kuta Karang, Teungku Chik di Leupe (Daud Rumi), Jalaluddin Tursany, Jamaluddin ibn Kamaluddin, Zainuddin, Teungku Chik  Pante Kulu, dan banyak tokoh lainnya yang memiliki karakteristik dan kekhasan serta identik dengan khazanah Islam lokal dan universal.

Diantara kitab terkenal adalah (Bustan as-Salatin), yaitu salah satu kitab fenomenal yang disusun pada abad ke-16 tepatnya pada masa Iskandar Muda (1607-1636) sampai pada masa Sultan Iskandar Tsani (1636-1641), kitab ini memberikan gambaran tentang Aceh dan kerajaannya pada periode ke-16 dan ke-17 M.

Pada masa tersebut, kitab inilah paling lengkap menceritakan kisah raja-raja Melayu secara universal, khususnya kerajaan Aceh Darussalam, termasuk merekam jejak perjalanan istana kerajaan Aceh dan struktural kenegaraan, yang dikarang oleh seorang ulama berasal dari negeri anak benua, Hindustan (India) bernama Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibn Muhammad Hamid ar-Raniri.

Nuruddin ar-Raniry seorang ulama dan negarawan yang telah berhasil memberikan sumbangsih sejarah melalui kitab Bustan as-Salatin pada saat pengabdiannya di Aceh, menurut sejarawan untuk menyelesaikan kitab Bustan as-Salatin dalam waktu relatif lama, namun tidak dapat dipastikan secara pasti tahun berapa kitab itu mulai ditulis, hanya perkiraan tahun 1640 (1050 H) sudah beredar dan menjadi bacaan para penghuni istana raja dan ulama-ulama Aceh. Menurut Braginsky kitab Bustan as-Salatin ditulis antara tahun 1638-1641, hal tersebut dapat terlilhat dari syair naskah Bustan as-Salatin berbunyi "Ialah perkasa terlalu berani, Turun-temurun nasab Sultani, Ialah menyunjung inayat Rahmani, Bergelar Sultan Iskandar Tsani", sebagian lain berpendapat bahwa Bustan as-Salatin sudah diisyaratkan kajiannya dalam kitab Asrar al-Insan fi Ma'rifah al-Ruh wal Rahman, juga karya Nuruddin as-Raniry usai dikarang pada tahun 1640 M (1050 H).

Nuruddin ar-Raniry berasal dari Ranir (Randir) Gujarat, India, sebagai foreigner menjadi asing bagi masyarakat Aceh, namun ia sudah banyak mengetahui tentang Melayu khususnya Aceh. Hal tersebut sangat dimungkinkan memperoleh seluruh informasi tersebut dari pamannya Syekh Muhammad Jailani bin Hasan Ar-Raniry, yaitu seorang ulama yang sudah berkarya sebelumnya di Aceh sebagai da'i sekaligus pedagang. Ia adalah salah seorang dari sekian banyak para pedagang dan mubaligh India yang mengajar dan berbisnis di Aceh dari satu generasi ke generasi lain secara turun temurun, maka dipastikan Nuruddin ar-Raniry sudah menguasai bahasa Melayu dan aksara Jawi sebelum menginjak kakinya di Aceh.

Ada sekitar 30 lebih judul kitab karya Nuruddin ar-Raniry dalam pelbagai disiplin bidang ilmu dan kajian mayoritasnya beraksara Jawi berbahasa Melayu, diantaranya Kitab As-Sirath al-Mustaqim, Durrat al-Faraid bi Syarh al-'Aqaid, Hidayat al-habib fi al Targhib wa'l-Tarhib, Bustanus as-Salatin fi Zikr al-Awwalin Wal Akhirin, Latha'if al-Asrar, Asrarul Insan fi Ma'rifat al-Ruh wa al-Rahman, Tibyan fi Ma'rifat al-Adyan, Akbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah, Hill al-Zill, Ma'ul Hayat li Ahlil Mamat, Jawahirl 'Ulum fi Kasyfil Ma'lum, Syifa'ul Qulub, Hujjat as-Shiddiq Lidaf'il Zindiq, Fathul Mubin 'alal Mulhidin, dan kitab lain sebagainya.

Kitab Bustanus as-Salatin lah menjadi salah satu bacaan para kediaman kerajaan Aceh, secara prikologis kitab tersebut memiliki nilai historis yang bernilai tinggi yang menjadi rujukan para sejarawan dan research dalam melakukan berbagai kajian dari dulu hingga kini. Penggunaan bahasa Melayu (beraksara Jawi) sebagai bahasa resmi baik dibidang politik, dagang, agama, dan budaya, di Aceh sejak abad ke-15 telah mendorong perkembangan tradisi tulis dan tradisi keilmuan yang sangat pesat di wilayah ini hingga abad-abad berikutnya, khususnya abad ke-16 dan ke-17 ketika kesultanan Aceh menggapai masa keemasannya.

Berdasarkan rekaman sejarah, kitab Bustan as-Salatin menjadi perintis perdana yang mengupas tentang historikal kerajaan yang bersifat teologis sekaligus historis. Disebut teologis sebab mengurai keesaan Tuhan dan segala wujud tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan proses tersebut, sekaligus disebut historis karna merangkup perjalanan raja-raja Aceh. Menurut Teuku Iskandar dalam bukunya, karya Nuruddin ar-Raniry mengikuti jejak kitab karya ulama sebelumnya Bukhari al-Jauhari berjudul Taj as-Salatin, jika ditinjau dari beberapa sisi ada persamaan, namun juga terdapat banyak perbedaannya, sebab kitab Taj as-Salatin disusun lebih berat pada titik religious cultures yang ditujukan kepada raja-raja Iran (Parsi), yaitu tidak lain merupakan ilustrasi untuk konsepsi etika dalam membentuk harmoni peradaban manusia dan alam ini.

Sedangkan kitab Bustan as-Salatin adalah sebuah kitab yang bersifat religious histories, yaitu terfokus pada teologi-historis dimana didalamnya dilukiskan gambaran dinamis tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan prosesnya, namun tak terlepas dari etik dan syariat yang diutamakan. Dan dalam naskah Bustan as-Salatin inilah jelas dan tegas memasukkan sejarah bangsa Melayu ke dalam sejarah dunia yang dipaparkan sebelumnya, dan khususnya perjalanan sejarah Kerajaan Aceh sebagai Dar as-Salam (Darussalam). Demikian juga menurut Hooykaas menyebutkan jika dibandingkan dengan Sejarah Melayu karangan Tun Sri Lanang yang disebut Paduka Raja dalam Bustan as-Salatin, maka kitab ini (Bustan as-Salatin) lebih bersifat pengetahuan, baik agama, sejarah dan nasehat (etika).

Kitab masyhur ini kemudian menjadi bacaan para alim ulama dan raja-raja setelah Sultan Iskandar Tsani, seperti Sultanah Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675), Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678) sampai kepada abad ke 18 pada masa Sultan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760), perubahan ideologi karakteristik masyarakat Aceh pada saat itu berubah terhadap hadirnya penjajah di Aceh, dalam kondisi ini posisi kerajaan mulai beralih pada pertahanan dan penguatan wilayah daripada pengembangan intelektual masyarakat, namun peranan ulama pada era ini sangat penting untuk menjaga persatuan ummat dan semangat patriotisme.

Dalam Bustan as-Salatin juga digambarkan patriotisme dan peperangan masa kerajaaan, dapat dikatakan naskah ini merupakan kitab perdana di dunia Melayu (Nusantara) yang berbentuk gubahan ensiklopedis yang menggabungkan genre universal histories dengan 'cermin didaktis'. Menurut Braginsky bahwa kitab ini sangat tebal sehingga tidak tersimpan semua bab dalam satu bundel, dan biasanya naskah-naskahnya berisi hanya satu atau dua-tiga bab tertentu. Namun, jika mengupas isinya maka bisa ditemukan antar bab dan pasal saling bersinambungan dan berkaitan, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kitab ini dikarang secara periodik dan kontinue.

 Menilik isinya, naskah Bustan as-Salatin yang terbagi kepada 7 (tujuh) bab dan terdiri dari 40 (empat puluh) pasal, pembahasannya dimulai dari wujud penciptaan Alam ini, penciptaan Nur Muhammad, Malaikat dan segala bentuk perwujudan, kemudian pada bab selanjutnya uraian wilayah kekuasaan Aceh dan Melayu, histografi dan silsilah Sultan Aceh serta kemegahan dengan segala hukum dan qanun yang diterapkan dalam menjalankan roda pemerintahan dan hubungannya dengan negara-negara luar Aceh, baik diplomasi maupun perebutan kedaulatan di wilayah sekitar seperti Deli, Johor, Malaka, Kedah dan Pattani (Thailand Selatan). Pada bab inilah yang menjadi patokan para sejarawan menelusuri silsilah dan potret kerajaan Aceh serta 'patron' dalam penegakan hukum syariat Islam dimasa keemasan Kesultanan Aceh.

Dapat dibayangkan gambaran uraian dalam naskah Bustan as-Salatin tentang kemegahan kerajaan Aceh Dar ad-Donya as-Salam "Syahdan, di darat Balai Keemasan yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, di dalam istana ada Maligai Mercu Alam, dan Maligai Daulat Khana dan Maligai Cita Keinderaan dan Medan Khayali, dan aliran sungai Dar al-Isyki itu suatu dan terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Khairani yang amat luas. Dan pada sama tengah medan itu Gegunungan Menara Permata, tiangnya dari tembaga, dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, adalah dalamnya beberapa permata puspa ragam, dan Sulaimani dan Yamani".

Pada bab-bab selanjutnya diuraikan tentang etika seorang pimpinan, penegakan hukum dan keadilan, sosial dan komunitas masyarakat Melayu serta patriotisme yang zuhud dan wara', hikayat didalam naskah ini tidak terlepas dari local history dan adat-istiadat yang terjadi di kerajaan Aceh untuk melukiskan kehidupan antara kerajaan dan masyarakat yang majemuk. Pada bab terakhir (bab 7) membagi pembahasan kepada bermacam tema dan topik seperti pengajaran, pendidikan, pengabdian, masalah Nisa' dan juga khusus pada bab ini Nuruddin ar-Raniry berpolemik dengan berbagai kisah mistis dan ganjil sebagai i'tibar bagi pembaca.

Selaras dengan perkembangan dunia pernaskahan, pada pertengahan abad ke-19 tepatnya pada awal agresi Belanda ke Aceh pada tahun 1873 M, perang paling terpanjang dalam catatan sejarah dan penyerangan besar-besaran ke Aceh, telah menjadikan perhatian ilmuwan dan rakyat Aceh terhadap karya-karya ulama spektakuler terabaikan, pada saat yang sama perhatian rakyat Aceh tertuju kepada perjuangan fisik (perang) mengusir penjajah dari tanah kelahirannya. Situasi ini dimanfaatkan oleh Barat (penjajah) untuk memboyong karya-karya ulama ke luar negeri, walau sebagian kecil peran ulama menyelamatkan naskah dengan mengkaji dan memperbanyak di dayah-dayah sekaligus menjadi benteng perjuangan seperti apa yang terjadi di Zawiyah Tanoh Abee, Awe Geutah dan di dayah-dayah lainnya.

Dan kini, dalam penelusuran inventarisasi dan konservasi manuskrip karya ulama-ulama Aceh sangat jarang ditemukan, pada kajian inventarisir naskah Bustan as-Salatin yang menjadi cikal bakal pengungkapan sejarah keemasan dan kejayaan kerajaan Aceh sudah tidak ditemukan lagi sumber asli, kitab fenomenal tersebut menjadi misteri di negerinya sendiri, tidak ditemukan koleksi kitab ini baik di Museum Negeri Aceh maupun di koleksi perpustakaan swasta yang ada di Aceh. Tentunya, sangat disayangkan dengan hilang dan luputnya pelestarian naskah berharga di negeri ini, walau sudah dapat dipastikan bahwa manuskrip karangan asli tangan pengarang (autograph) telah musnah.

Dalam dunia pernaskahan, para ilmuwan telah menyusun berbagai katalog naskah-naskah kuno untuk dapat menginventarisir karya khazanah warisan leluhur, dalam penelusuran ini ditemukan bahwa sebagian salinan kitab Bustan as-Salatin hanya tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta dalam versi tidak lengkap, sedangkan lainnya satu bundel naskah di Perpustakaan Universitas Malaya di Malaysia dari bab I, III sampai V, serta dua naskah berada di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda juga dalam versi tidak lengkap. Sedangkan di tanah kelahirannya belum ditemukan kitab masyhur ini yang pernah mengharumkan nama Aceh Darussalam di kancah dunia. Namun cahaya lilin belum redup, tentu masih ada secercah harapan untuk memberikan perhatian lebih kepada semua karya ulama-ulama indatu, mengungkapkan sejarah dan identitas keacehan lebih mendalam, mengkaji isi teks naskah serta kekayaan khazanah karun Aceh yang tak pernah khatam.

banjer