Di share dari catatan Fikar w eda.
Senin, 04 Maret 2024
Aceh ( Meurah Perlak )
Rabu, 03 Januari 2024
CERITA GUA KEMANG ( ATOK KULOK )
Alkisah,
hiduplah seorang peladang di kampung tersebut. Dia biasa dipanggil Atok (kakek)
Kulok. Sebagai seorang peladang, Atok mau membuka hutan yang masih berada tidak
jauh dari kawasan perkampungan untuk dijadikan lahan bercocok tanam.
Dalam perjalanan menuju lokasi tersebut, Atok bertemu dengan sesosok mahkluk bertubuh kecil dengan kakinya terbalik. Tumitnya menghadap ke depan dan jari kakinya ke belakang. Orang-orang menyebutnya Long Jernang.
“Mau kemana?” Long Jernang bertanya pada Atok. Atok menjelaskan bahwa dia mau membuka hutan untuk berladang padi. Long Jernang pun menawarkan bantuan kepada Atok, dengan syarat Atok tidak boleh membawa perempuan dan anak kecil ke ladangnya. Atok menyanggupinya, walaupun dia sendiri punya seorang istri yang baru saja melahirkan.
Akhir
kata, Long Jernang dan kawan-kawannya membantu Atok membuka hutan. Dalam satu
hari, lahan seluas tiga hektar selesai dibersihkan dan siap untuk ditanam.
Sebelum senja, Atok kembali ke rumahnya. Di rumah, dia mengatakan kepada istrinya,
bahwa lahan untuk ladang sudah selesai dibuka, dan besok dia akan mulai menanam
padi. Dia juga meminta istrinya untuk menyiapkan benih padi yang akan ditanam
besok.
Sang istri pun heran, bagaimana bisa lahan seluas tiga hektar dapat diselesaikan suaminya dalam waktu hanya satu hari. Dengan hati bertanya-tanya, dia tetap menyiapkan benih padi yang akan ditanam.
Keesokan harinya, Atok sudah berada kembali di ladangnya dengan membawa benih padi yang akan ditanam. Namun tak disangka, Long Jernang marah padanya karena dia telah mengingkari janji. Atok sama sekali tidak mengerti kenapa Long Jernang bisa menuduhnya seperti itu. Padahal dia tidak pernah membawa perempuan atau anak kecil ke ladangnya. Tiba-tiba saja, istri dan anak Atok sudah berada di belakangnya. Ternyata, istri Atok diam-diam mengikutinya karena rasa penasaran yang tak tertahankan. Perjanjian Atok dengan Long Jernang pun batal. Semuanya berubah menjadi hutan kembali seperti sedia kala. Mendapati itu, Atok marah besar. Namun apa daya, nasi sudah jadi bubur.
Besoknya, Atok kembali membuka hutan tersebut untuk dijadikan ladang padi. Selama berhari-hari akhirnya Atok pun berhasil membersihkannya. Ketika itulah ditemukan batu besar yang disebut Gua Kemang. Hingga saat ini, batu besar tersebut diyakini oleh masyarakat setempat sebagai rumah Long Jernang yang pernah membantu Atok.
Long
Jernang” merupakan bahasa Tamiang yang berarti jin atau roh. Seperti diceritakan fisik dari Long Jernang seperti manusia, tapi
lebih kecil. Bedanya lagi, kalau berjalan, kakinya terbalik, tumitnya menghadap
ke depan sedangkan jari-jari kakinya ke arah belakang. “Itu kata orang yang
sudah pernah melihatnya. Seperti orang bunian,”
Selasa, 02 Januari 2024
KISAH TAMIANG
PANGLIMA LEMBING DAN DATOK TEGAP
apa tanda orang aniaya,
lupa diri tak ingat asalnya
kepada orang semena-mena
setan dan iblis kawan setianya
lupa diri, binasa sendiri
lupa diir, hidup terkeji
lupa diri, musnahlah budi
lupa diri, binasalah kaji
lupa diri, akal pun mati
Alkisah, di daerah Hulu Tamiang, hiduplah seorang
laki-laki bernama Abang sehak. Kerjanya setiap hari hanya membuat kekacauan di
mana-mana, seperti mencuri dan merampas barang milik orang lain.
Pada suatu hari, Abang sehak menunggu warga yang membawa hasil
kebunnya untuk di jual ke pasar. Setelah beberapa saat menunggu, tampaklah dari
kejauhan seorang laki-laki setengah baya sedang memikul keranjang berisi
sayur-sayuran dan buah-buahan.
"Hmmm... ini dia yang kutunggu-tunggu! Aku akan mengambil barang-barang
si tua bangka itu dari belakang. Pasti dia tidak akan tahu!" gumam Abang
sehak.
Setelah beberapa jauh orang tua itu melewati tempat
persembunyiannya, secara diam-diam Abang sehak membuntutinya sambil
berjingkat-jingkat. Ia hendak mengambil buah-buahan yang ada di keranjang
belakang orang tua itu. Namun tanpa disadarinya, ternyata orang tua itu adalah
seorang pendekar silat yang berilmu tinggi, bernama Long dulah yang terkenal
dengan panggilan Datok tegap. Banyak orang yang datang berguru kepadanya.
Menyadari ada orang yang mengikutinya, Datok Tegap langsung
membentak:
"Hai, jangan main-main!"
Alangkah terkejutnya Abang Sehak mendengar bentakan itu, apalagi
ketika orang tua itu menoleh kepadanya. Ternyata orang tua itu adalah Datok
Tegap, guru silat yang cukup disegani di tanah Tamiang.
"Oh, maaf Datok! Bagaimana Datok dapat mengetahui kalau
saya ada di belakang Datok? Apakah Datok mempunyai ilmu batin?" tanya
Abang sehak.
"Tidak... Tidak...! Aku tidak mempunyai ilmu apa-apa. Aku
hanya menebak-nebak saja, dan kebetulan tebakanku benar," jawab Datok
Tegap sambil terus berlalu tanpa menghiraukan Abang sehak.
Namun, Abang Sehak terus membuntutinya.
"Tidak usah berbohong Datok! Datok pasti mempunyai ilmu
batin. Saya mohon ajarkanlah kepada saya Datok!" pinta Abang Sehak.
Setelah beberapa kali Abang Sehak memohon barulah Datok Tegap
mengaku bahwa dia memang mempunyai ilmu batin. Ia pun bersedia mengajarkan
ilmunya, asalkan Abang Srhak mau memenuhi satu syarat.
"Baiklah, Abang Sehak! Aku bersedia mengajarimu asalkan
kamu mau merubah perilakumu yang suka membuat kekacauan di desa ini," ujar
Datok Tegap.
"Baiklah, Datok! Aku berjanji tidak akan membuat kekacauan
lagi," kata Abang Sehak berjanji.
"Kalau begitu, datanglah besok ke rumah!" kata Datok
Tegap seraya melanjutkan perjalanan menuju ke pasar.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Abang Sehak pergi ke rumah
Datok Tegap. Saat ia memasuki pekarangan rumah Datok tegap, tampaklah sejumlah
murid-murid Darok sedang berlatih ilmu silat dan batin.
"Wah, ternyata Datok mempunyai banyak murid. Kenapa tidak
dari dulu aku berguru kepada Datok ?" gumamnya dengan perasaan menyesal.
Melihat kedatangan Abang Sehak, Datok Tegap segera menyuruhnya
duduk untuk diberikan pengarahan. Setelah itu, Abang Sehak pun ikut berlatih bersama
murid-murid Datok Tegap lainnya. Sejak itu, ia menjadi murid Datok Tegap. Ia
termasuk murid yang cerdas dan dapat memahami dan menguasai jurus-jurus yang
diajarkan kepadanya dengan sempurna. Tak heran, jika Datok Tegap sangat menyayanginya dan rela memberikan semua
ilmu yang dimilikinya.
Setelah menguasai semua ilmu yang diberikan oleh Datok Tegap,
Abang Sehak berpamitan kepada gurunya hendak merantau ke tanah Tanah Melayu (
Malaysia) untuk memperbaiki hidupnya.
"Terima kasih, Guru! Ilmu yang guru berikan akan saya
gunakan untuk kebaikan," ucap Abang Sehak.
"Aku pun berharap demikian, Muridku," kata Datok Tegap
seraya berpesan kepada Abang Sehak dengan
untaian pantun dan syair seperti berikut ini:
wahai ananda hamba ber amanat,
simak olehmu petuah amanah
peganglah dengan hati yang bulat
semoga Tuhan memberimu berkah
maka seperti kata orang tua-tua:
sebelum melangkah pegang petuah
sebelum berjalan amanah dipadan
untuk bekal ananda berjalan
manfaatkan ilmu pada yang terpuji
menjaga diri membela negeri
manfaatkan ilmu pada yang patut,
supaya tak sia-sia ananda menuntut
ilmu jangan dipermain-mainkan
pantang sekali dilagak-lagakkan
ilmu jangan disia-siakan,
amalkan olehmu pada kebajikan
berbuat baik engkau kekalkan
tolong menolong engkau utamakan
tiru olehmu ilmu padi,
semakin merunduk semakin berisi.
Setelah berjanji untuk melaksanakan semua nasehat gurunya, Abang
Sehak pun berlayar ke Tanah Melayu dengan menumpang kapal milik Haji Jali dari Pantai
Hilir Tamiang. Selama di perjalanan, Haji Jali pun senantiasa memberinya
nasehat.
"Wahai, Abang Sehak! Sesampainya di Tanah Melayu, kamu
harus pandai-pandai menjaga mulut, karena adat penduduk di sana berbeda dengan
adat kita di kampung," pesan Haji Jali.
"Apakah itu, Pak Haji?" tanya Abang Sehak penasaran.
"Jika kamu mendengar ayam berkokok tiga kali berturut-turut
bukan pada waktunya, jangan kamu jawab! Jika kamu menjawabnya, berarti kamu
telah melawan adat Tanah Melayu. Sebagai hukumannya, kamu harus bertarung melawan
Panglima Tanah Melayu," ujar Haji Jali.
"Oh, begitu!" kata Abang Sehak sambil tersenyum.
Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, tibalah
mereka di Tanah Melayu bersamaan waktu magrib. Saat mereka menginjakkan kaki di
pelabuhan, terdengarlah suara ayam jantan berkokok tiga kali berturut-turut. Tanpa
disadarinya, Abang Sehak menjawab kokokan ayam tersebut.
"Kokkokokkooo...!!!" demikian suara Abang Sehak.
Rupanya, jawaban kokokan ayam Abang Sehakterdengar oleh
mata-mata Raja Melayu yang sedang berjaga-jaga di Pelabuhan.
Mata-mata itu pun segera melaporkan hal itu kepada Raja.
"Ampun, Baginda! Hamba mendengar suara ayam jantan yang
baru saja berlabuh di pelabuhan," lapor mata-mata itu.
"Pengawal! Carilah ayam jantan dari negeri seberang itu
yang telah berani menantang adat Tanah Melayu!" perintah sang Raja.
Mendengar perintah tersebut, beberapa pengawal istana segera
menuju ke pelabuhan untuk mencari ayam jantan itu, dan membawanya ke istana
untuk dihadapkan kepada Raja. Tak berapa lama kemudian, para pengawal itu pun
kembali bersama Abang Sehak.
"Hai, orang asing! Siapa kamu ini, berani-beraninya
menentang adat negeri ini?" tanya Raja Melayu dengan nada membentak.
"Ampun, Baginda! Hamba seorang perantau dari Tamiang.
Orang-orang memanggilku Abang Sehak. Mohon ampun jika hamba telah melanggar
adat negeri ini!" Abang Sehak memohon kepada Raja Melayu sambil memberi
hormat.
"Asal kamu tahu saja, Abang Sehak! Siapa pun yang melanggar
adat negeri ini, maka ia harus menerima hukuman, yaitu bertarung melawan
Panglima Tanah Melayu," ujar Raja Melayu.
"Ampun, Baginda! Hamba bersedia menerima hukuman ini. Tapi,
berilah hamba waktu tiga hari untuk memulihkan tenaga terlebih dahulu. Hamba
sangat kelelahan setelah berhari-hari berlayar terombang-ambing di tengah
laut," pinta Abang Sehak.
Setelah berunding dengan panglimanya, sang Raja pun memenuhi
permintaan Abang Sehak. Sambil menunggu hari pertarungan itu tiba, Abang Daud
tinggal di rumah Haji Jali. Agar Abang Sehak tidak melarikan diri kembali ke
negerinya di Tamiang, Raja Melayu mengutus beberapa orang pengawalnya untuk
berjaga-jaga di sekitar rumah Haji jali.
Pada malam harinya, usai makan malam, juragan kapal itu berbincang-bincang
dengan Abang Sehak.
"Hai, Abang Sehak! Aku sudah berkali-kali menasehatimu, tapi
kamu tetap saja melanggar adat negeri ini. Akhirnya, kamu terima sendiri
akibatnya," ujar Haji Jali.
"Tidak usah khawatir, Pak Haji! Semoga saja saya bisa
mengatasi masalah ini sendiri. Saya mohon maaf jika telah merepotkan Pak
Haji," kata Abang Sehak dengan tenangnya.
Pada hari yang telah ditentukan, Abang Sehak datang menghadap
sang Raja untuk menepati janjinya. Tak ketinggalan pula Haji Jali bersama warga
Tamiang Yang ada disekitaran istana Kerajaan Melayu untuk menyaksikan pertarungan tersebut. Sebagai
sesama orang Tamiang, mereka senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada
Abang Sehak agar selamat dari kematian.
Saat rombongan Abang Sehak memasuki halaman istana, tampak
seluruh keluarga istana dan para pengawal Raja telah memadati sekitar arena
pertarungan yang telah disiapkan. Sesekali terdengar suara ejekan dari para
penonton yang meremehkan kemampuan Abang Sehak.
"Ah, orang itu kemari hanya untuk mengantarkan nyawa. Dia
pasti akan mati terkapar di atas arena melawan Panglima Tanah Melayu," ucap
seorang pengawal.
Sementara itu, saat melihat kedatangan Abang SEhak, Raja Melayu segera memerintahkan hulubalangnya untuk
menyediakan berbagai jenis senjata dan menyuruh Abang Sehak memilih senjata
yang dikehendakinya. Abang Sehak memilih sebuah Tongkat lembing.
"Baiklah, kalau itu pilahanmu. Pertarungan akan segera
dimulai. Apakah kamu sudah siap, wahai Abang Sehak?" tanya Raja Melayu
meyakinkan Abang Sehak.
"Hamba siap, Baginda!" jawab Abang Sehak seraya
berjalan menuju ke arena yang telah disediakan di halaman istana.
Ketika kedua petarung itu berada di atas arena, Raja Haji bersama
rombongannya dari Tamiang semakin cemas akan menyaksikan pertarungan itu. Lain
halnya dengan seluruh masyarakat Tanah Melayu, mereka bersorak gembira sambil
terus merendahkan Abang Sehak. Mereka yakin bahwa panglima merekalah yang akan
memenangkan pertarungan itu.
"Hai, Abang Sehak! Berdoalah sebelum nyawamu
melayang!" celetuk salah seorang penonton dari Tanah Melayu.
"Iya, Abang Sehak! Berpesanlah kepada orang-orang Tamiang
sebelum kamu mati sia-sia di tangan Panglima kami!" tambah seorang
penonton lainnya dari Tanah Melayu.
Abang Sehak hanya tersenyum mendengar ejekan-ejekan yang
dilontarkan kepadanya. Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai.
Panglima Tanah Melayu mengawali pertarungan itu dengan terlebih dahulu
menyerang, sedangkan Abang Sehak hanya menangkis dan menghindar dari
serangan-serangan yang datang secara bertubi-tubi. Berkali-kali Panglima Tanah
Melayu melancarkan serangan, berkali-kali pula Abang Sehak dapat berkelit dan
menghindarinya. Ketika melihat Panglima Tanah Melayu mulai kelelahan, Abang
SEhak berbalik menyerang. Hanya dengan beberapa jurus saja, Abang Sehak
berhasil memainkan lembing nya tepat pada lambung kiri Panglima Tanah Melayu.
Seketika itu pula, Panglima kebanggaan Tanah Melayu itu jatuh terkapar tak
sadarkan diri.
Seluruh masyarakat Tanah Melayu yang menyaksikan pertarungan itu
terkejut, terutama Raja Melayu. Sang Raja benar-benar tidak pernah mengira
sebelumnya bahwa Abang Sehak adalah pendekar yang sangat tangguh dan sakti.
Sedangkan masyarakat Tamiang yang semula hanya terdiam diselimuti perasaan cemas,
tiba-tiba berteriak kegirangan menyaksikan kemenangan pendekar yang berasal
dari tanah kelahiran mereka. Sebagai Raja yang arif dan bijaksana, Raja Melayu
pun mengangkat Abang Sehak menjadi
Panglima Tanah Melayu dengan gelar Panglima lembing.
Sejak itu, Panglima Tanah Melayu dari Tamiang tersebut tinggal
di istana Kerajaan Melayu dengan kehidupan serba mewah. Namanya pun semakin
terkenal hingga ke berbagai negeri. Ia sangat disegani oleh masyarakat Tanah
Melayu. Rupanya, pangkat, jabatan, dan ketenaran itu membuatnya lupa diri,
penyakitnya mulai kambuh lagi. Ia selalu membuat kekecauan di mana-mana. Raja
Melayu pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Pada suatu ketika, Abang Sehak yang bergelar Panglima Lembing
itu kembali ke kampung halamannya. Di kampungnya, perilaku Panglima Lembing
semakin menjadi-jadi, sehingga masyarakat Tamiang menjadi resah. Mendengar berita
tersebut, Tumenggung Tamiang pun segera memerintahkan warga untuk menangkapnya.
Namun, tak satu pun warga yang mampu mengalahkan kesaktiannya.
"Apa yang harus kita lakukan Tumenggung?" tanya
seorang warga dengan risau dalam sebuah pertemuan desa.
"Hmmm... aku kira satu-satunya orang yang dapat menangkap
Abang Sehak adalah gurunya sendiri. Apakah kalian mengetahui siapa guru Abang
Sehak?" Tumenggung Mentok balik bertanya kepada warga.
"Hai, bukankah dia dulu pernah berguru pada Datok Tegap?"
sahut seorang warga.
"Benar, Tumenggung! Dia adalah teman seperguruan saya
dulu," tambah seorang warga lainnya.
Akhirnya, beberapa warga segera memanggil Datok Tegap. Tak
berapa lama, guru Abang Sehak itu pun datang ke pertemuan desa tersebut.
"Maaf, para hadirin! Sebenarnya saya ragu untuk bisa
menangkap Abang Sehak, karena saya telah memberikan seluruh ilmuku kepadanya,"
ungkap Datok Tegap.
Setelah didesak oleh para warga, Datok Tegap pun bersedia
membantu dan segera mencari akal untuk dapat mengalahkan kesaktian muridnya
itu. Saat itu pula, ia tiba-tiba teringat dengan satu kelemahan Abang Sehak.
Dulu, Abang Sehak pernah bercerita kepadanya bahwa dia tidak bisa berenang.
Oleh karena itu, ia akan membujuknya untuk menemaninya mengambil air di sungai.
Pada saat itulah, ia akan mendorong Abang SEhak masuk ke dalam sungai.
Keesokan harinya, Datok Tegap pergi menemui Abang Daud. Namun,
sebelum mengajak ke sungai, ia berusaha membujuk dan menasehati kembali murid
kesayangannya itu.
wahai ananda dengarlah amanah,
kalau hidup peganglah wakil
kalau mati peganglah amanat
pegang petuah dengan amanah
pegang tunjuk dengan ajarnya
wahai ananda dengarlah amanah,
ingat-ingat engkau berjalan
jangan dengar bujukan setan
hawa nafsu jangan turutkan
pertolongan Allah engku mohonkan
hati hati engkau berjalan
petuah amanah jangan lupakan
tunjuk ajar jangan abaikan
ilmu di dada peganglah teguh
Mendapat nasehat dari gurunya, Abang Sehak bukannya berterima
kasih, tetapi justru memaki-maki gurunya.
"Hentikan semua omong kosongmu itu Pak Tua! Aku sudah muak
dengan semua nasehatmu!" bentak Abang Sehak.
Sabtu, 30 Desember 2023
KITAB BUSTAN AS-SALATIN ACEH
Banyaknya karya ulama-ulama Aceh terkemuka terutama pada abad
ke-16 sampai abad ke-18 seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatra'i,
Nuruddin al-Raniri, Abdurauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, Fakih Jalaludin,
Teungku Khatib Langgien, Muhammad Zein, Abbas Kuta Karang, Teungku Chik di
Leupe (Daud Rumi), Jalaluddin Tursany, Jamaluddin ibn Kamaluddin, Zainuddin,
Teungku Chik Pante Kulu, dan banyak tokoh lainnya yang memiliki
karakteristik dan kekhasan serta identik dengan khazanah Islam lokal dan
universal.
Diantara kitab terkenal adalah (Bustan as-Salatin), yaitu salah
satu kitab fenomenal yang disusun pada abad ke-16 tepatnya pada masa Iskandar
Muda (1607-1636) sampai pada masa Sultan Iskandar Tsani (1636-1641), kitab ini
memberikan gambaran tentang Aceh dan kerajaannya pada periode ke-16 dan ke-17 M.
Pada masa tersebut, kitab inilah paling lengkap menceritakan
kisah raja-raja Melayu secara universal, khususnya kerajaan Aceh Darussalam,
termasuk merekam jejak perjalanan istana kerajaan Aceh dan struktural
kenegaraan, yang dikarang oleh seorang ulama berasal dari negeri anak benua,
Hindustan (India) bernama Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibn
Muhammad Hamid ar-Raniri.
Nuruddin ar-Raniry seorang ulama dan negarawan yang telah
berhasil memberikan sumbangsih sejarah melalui kitab Bustan as-Salatin pada
saat pengabdiannya di Aceh, menurut sejarawan untuk menyelesaikan kitab Bustan
as-Salatin dalam waktu relatif lama, namun tidak dapat dipastikan secara pasti
tahun berapa kitab itu mulai ditulis, hanya perkiraan tahun 1640 (1050 H) sudah
beredar dan menjadi bacaan para penghuni istana raja dan ulama-ulama Aceh.
Menurut Braginsky kitab Bustan as-Salatin ditulis antara tahun 1638-1641, hal
tersebut dapat terlilhat dari syair naskah Bustan as-Salatin berbunyi
"Ialah perkasa terlalu berani, Turun-temurun nasab Sultani, Ialah
menyunjung inayat Rahmani, Bergelar Sultan Iskandar Tsani", sebagian lain
berpendapat bahwa Bustan as-Salatin sudah diisyaratkan kajiannya dalam kitab
Asrar al-Insan fi Ma'rifah al-Ruh wal Rahman, juga karya Nuruddin as-Raniry
usai dikarang pada tahun 1640 M (1050 H).
Nuruddin ar-Raniry berasal dari Ranir (Randir) Gujarat, India,
sebagai foreigner menjadi asing bagi masyarakat Aceh, namun ia sudah banyak
mengetahui tentang Melayu khususnya Aceh. Hal tersebut sangat dimungkinkan
memperoleh seluruh informasi tersebut dari pamannya Syekh Muhammad Jailani bin
Hasan Ar-Raniry, yaitu seorang ulama yang sudah berkarya sebelumnya di Aceh
sebagai da'i sekaligus pedagang. Ia adalah salah seorang dari sekian banyak
para pedagang dan mubaligh India yang mengajar dan berbisnis di Aceh dari satu
generasi ke generasi lain secara turun temurun, maka dipastikan Nuruddin
ar-Raniry sudah menguasai bahasa Melayu dan aksara Jawi sebelum menginjak
kakinya di Aceh.
Ada sekitar 30 lebih judul kitab karya Nuruddin ar-Raniry dalam
pelbagai disiplin bidang ilmu dan kajian mayoritasnya beraksara Jawi berbahasa
Melayu, diantaranya Kitab As-Sirath al-Mustaqim, Durrat al-Faraid bi Syarh
al-'Aqaid, Hidayat al-habib fi al Targhib wa'l-Tarhib, Bustanus as-Salatin fi
Zikr al-Awwalin Wal Akhirin, Latha'if al-Asrar, Asrarul Insan fi Ma'rifat
al-Ruh wa al-Rahman, Tibyan fi Ma'rifat al-Adyan, Akbar al-Akhirah fi Ahwal
al-Qiyamah, Hill al-Zill, Ma'ul Hayat li Ahlil Mamat, Jawahirl 'Ulum fi Kasyfil
Ma'lum, Syifa'ul Qulub, Hujjat as-Shiddiq Lidaf'il Zindiq, Fathul Mubin 'alal
Mulhidin, dan kitab lain sebagainya.
Kitab Bustanus as-Salatin lah menjadi salah satu bacaan para
kediaman kerajaan Aceh, secara prikologis kitab tersebut memiliki nilai
historis yang bernilai tinggi yang menjadi rujukan para sejarawan dan research
dalam melakukan berbagai kajian dari dulu hingga kini. Penggunaan bahasa Melayu
(beraksara Jawi) sebagai bahasa resmi baik dibidang politik, dagang, agama, dan
budaya, di Aceh sejak abad ke-15 telah mendorong perkembangan tradisi tulis dan
tradisi keilmuan yang sangat pesat di wilayah ini hingga abad-abad berikutnya,
khususnya abad ke-16 dan ke-17 ketika kesultanan Aceh menggapai masa
keemasannya.
Berdasarkan rekaman sejarah, kitab Bustan as-Salatin menjadi
perintis perdana yang mengupas tentang historikal kerajaan yang bersifat
teologis sekaligus historis. Disebut teologis sebab mengurai keesaan Tuhan dan
segala wujud tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan proses tersebut,
sekaligus disebut historis karna merangkup perjalanan raja-raja Aceh. Menurut
Teuku Iskandar dalam bukunya, karya Nuruddin ar-Raniry mengikuti jejak kitab
karya ulama sebelumnya Bukhari al-Jauhari berjudul Taj as-Salatin, jika
ditinjau dari beberapa sisi ada persamaan, namun juga terdapat banyak
perbedaannya, sebab kitab Taj as-Salatin disusun lebih berat pada titik
religious cultures yang ditujukan kepada raja-raja Iran (Parsi), yaitu tidak
lain merupakan ilustrasi untuk konsepsi etika dalam membentuk harmoni peradaban
manusia dan alam ini.
Sedangkan kitab Bustan as-Salatin adalah sebuah kitab yang
bersifat religious histories, yaitu terfokus pada teologi-historis dimana
didalamnya dilukiskan gambaran dinamis tentang penciptaan alam semesta dan
kelanjutan prosesnya, namun tak terlepas dari etik dan syariat yang diutamakan.
Dan dalam naskah Bustan as-Salatin inilah jelas dan tegas memasukkan sejarah
bangsa Melayu ke dalam sejarah dunia yang dipaparkan sebelumnya, dan khususnya
perjalanan sejarah Kerajaan Aceh sebagai Dar as-Salam (Darussalam). Demikian
juga menurut Hooykaas menyebutkan jika dibandingkan dengan Sejarah Melayu
karangan Tun Sri Lanang yang disebut Paduka Raja dalam Bustan as-Salatin, maka
kitab ini (Bustan as-Salatin) lebih bersifat pengetahuan, baik agama, sejarah
dan nasehat (etika).
Kitab masyhur ini kemudian menjadi bacaan para alim ulama dan
raja-raja setelah Sultan Iskandar Tsani, seperti Sultanah Safi al-Din Taj
al-Alam (1641-1675), Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678) sampai kepada abad ke
18 pada masa Sultan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760), perubahan ideologi
karakteristik masyarakat Aceh pada saat itu berubah terhadap hadirnya penjajah
di Aceh, dalam kondisi ini posisi kerajaan mulai beralih pada pertahanan dan
penguatan wilayah daripada pengembangan intelektual masyarakat, namun peranan
ulama pada era ini sangat penting untuk menjaga persatuan ummat dan semangat
patriotisme.
Dalam Bustan as-Salatin juga digambarkan patriotisme dan
peperangan masa kerajaaan, dapat dikatakan naskah ini merupakan kitab perdana
di dunia Melayu (Nusantara) yang berbentuk gubahan ensiklopedis yang
menggabungkan genre universal histories dengan 'cermin didaktis'. Menurut
Braginsky bahwa kitab ini sangat tebal sehingga tidak tersimpan semua bab dalam
satu bundel, dan biasanya naskah-naskahnya berisi hanya satu atau dua-tiga bab
tertentu. Namun, jika mengupas isinya maka bisa ditemukan antar bab dan pasal
saling bersinambungan dan berkaitan, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa
kitab ini dikarang secara periodik dan kontinue.
Menilik isinya, naskah Bustan as-Salatin yang terbagi kepada 7 (tujuh) bab dan terdiri dari 40 (empat puluh) pasal, pembahasannya dimulai dari wujud penciptaan Alam ini, penciptaan Nur Muhammad, Malaikat dan segala bentuk perwujudan, kemudian pada bab selanjutnya uraian wilayah kekuasaan Aceh dan Melayu, histografi dan silsilah Sultan Aceh serta kemegahan dengan segala hukum dan qanun yang diterapkan dalam menjalankan roda pemerintahan dan hubungannya dengan negara-negara luar Aceh, baik diplomasi maupun perebutan kedaulatan di wilayah sekitar seperti Deli, Johor, Malaka, Kedah dan Pattani (Thailand Selatan). Pada bab inilah yang menjadi patokan para sejarawan menelusuri silsilah dan potret kerajaan Aceh serta 'patron' dalam penegakan hukum syariat Islam dimasa keemasan Kesultanan Aceh.
Dapat dibayangkan gambaran uraian dalam naskah Bustan as-Salatin tentang kemegahan kerajaan Aceh Dar ad-Donya as-Salam "Syahdan, di darat Balai Keemasan yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, di dalam istana ada Maligai Mercu Alam, dan Maligai Daulat Khana dan Maligai Cita Keinderaan dan Medan Khayali, dan aliran sungai Dar al-Isyki itu suatu dan terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Khairani yang amat luas. Dan pada sama tengah medan itu Gegunungan Menara Permata, tiangnya dari tembaga, dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, adalah dalamnya beberapa permata puspa ragam, dan Sulaimani dan Yamani".
Pada bab-bab selanjutnya diuraikan tentang etika seorang
pimpinan, penegakan hukum dan keadilan, sosial dan komunitas masyarakat Melayu
serta patriotisme yang zuhud dan wara', hikayat didalam naskah ini tidak
terlepas dari local history dan adat-istiadat yang terjadi di kerajaan Aceh
untuk melukiskan kehidupan antara kerajaan dan masyarakat yang majemuk. Pada
bab terakhir (bab 7) membagi pembahasan kepada bermacam tema dan topik seperti
pengajaran, pendidikan, pengabdian, masalah Nisa' dan juga khusus pada bab ini
Nuruddin ar-Raniry berpolemik dengan berbagai kisah mistis dan ganjil sebagai
i'tibar bagi pembaca.
Selaras dengan perkembangan dunia pernaskahan, pada pertengahan
abad ke-19 tepatnya pada awal agresi Belanda ke Aceh pada tahun 1873 M, perang
paling terpanjang dalam catatan sejarah dan penyerangan besar-besaran ke Aceh,
telah menjadikan perhatian ilmuwan dan rakyat Aceh terhadap karya-karya ulama
spektakuler terabaikan, pada saat yang sama perhatian rakyat Aceh tertuju
kepada perjuangan fisik (perang) mengusir penjajah dari tanah kelahirannya.
Situasi ini dimanfaatkan oleh Barat (penjajah) untuk memboyong karya-karya
ulama ke luar negeri, walau sebagian kecil peran ulama menyelamatkan naskah
dengan mengkaji dan memperbanyak di dayah-dayah sekaligus menjadi benteng
perjuangan seperti apa yang terjadi di Zawiyah Tanoh Abee, Awe Geutah dan di
dayah-dayah lainnya.
Dan kini, dalam penelusuran inventarisasi dan konservasi
manuskrip karya ulama-ulama Aceh sangat jarang ditemukan, pada kajian
inventarisir naskah Bustan as-Salatin yang menjadi cikal bakal pengungkapan
sejarah keemasan dan kejayaan kerajaan Aceh sudah tidak ditemukan lagi sumber
asli, kitab fenomenal tersebut menjadi misteri di negerinya sendiri, tidak
ditemukan koleksi kitab ini baik di Museum Negeri Aceh maupun di koleksi
perpustakaan swasta yang ada di Aceh. Tentunya, sangat disayangkan dengan
hilang dan luputnya pelestarian naskah berharga di negeri ini, walau sudah
dapat dipastikan bahwa manuskrip karangan asli tangan pengarang (autograph)
telah musnah.
Dalam dunia pernaskahan, para ilmuwan telah menyusun berbagai
katalog naskah-naskah kuno untuk dapat menginventarisir karya khazanah warisan
leluhur, dalam penelusuran ini ditemukan bahwa sebagian salinan kitab Bustan
as-Salatin hanya tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta dalam versi
tidak lengkap, sedangkan lainnya satu bundel naskah di Perpustakaan Universitas
Malaya di Malaysia dari bab I, III sampai V, serta dua naskah berada di
Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda juga dalam versi tidak lengkap. Sedangkan
di tanah kelahirannya belum ditemukan kitab masyhur ini yang pernah
mengharumkan nama Aceh Darussalam di kancah dunia. Namun cahaya lilin belum
redup, tentu masih ada secercah harapan untuk memberikan perhatian lebih kepada
semua karya ulama-ulama indatu, mengungkapkan sejarah dan identitas keacehan
lebih mendalam, mengkaji isi teks naskah serta kekayaan khazanah karun Aceh
yang tak pernah khatam.
-
Macam-macam sikap pasang dalam pencak silat Sikap Pasang Satu yakni sikap dengan kuda-kuda tengah belakang, dengan berat badan di tenga...
-
SENI PENCAK SILAT PELINTAU TAMIANG Perguruan Seni Pencak Silat Pelintau Tamiang merupakan seni pencak silat tradisional peninggalan d...
-
Aceh telah mewariskan pusaka khazanah berharga berupa naskah-naskah tulisan tangan (manuscripts) sejak beberapa abad yang lalu, negeri Ser...
-
Siapa sih yang tidak pernah mendengar tentang pencak silat? Ya, salah satu kesenian bela diri asli Kepulauan Melayu ini secara luas dikenal ...