PANGLIMA LEMBING DAN DATOK TEGAP
apa tanda orang aniaya,
lupa diri tak ingat asalnya
kepada orang semena-mena
setan dan iblis kawan setianya
lupa diri, binasa sendiri
lupa diir, hidup terkeji
lupa diri, musnahlah budi
lupa diri, binasalah kaji
lupa diri, akal pun mati
Alkisah, di daerah Hulu Tamiang, hiduplah seorang
laki-laki bernama Abang sehak. Kerjanya setiap hari hanya membuat kekacauan di
mana-mana, seperti mencuri dan merampas barang milik orang lain.
Pada suatu hari, Abang sehak menunggu warga yang membawa hasil
kebunnya untuk di jual ke pasar. Setelah beberapa saat menunggu, tampaklah dari
kejauhan seorang laki-laki setengah baya sedang memikul keranjang berisi
sayur-sayuran dan buah-buahan.
"Hmmm... ini dia yang kutunggu-tunggu! Aku akan mengambil barang-barang
si tua bangka itu dari belakang. Pasti dia tidak akan tahu!" gumam Abang
sehak.
Setelah beberapa jauh orang tua itu melewati tempat
persembunyiannya, secara diam-diam Abang sehak membuntutinya sambil
berjingkat-jingkat. Ia hendak mengambil buah-buahan yang ada di keranjang
belakang orang tua itu. Namun tanpa disadarinya, ternyata orang tua itu adalah
seorang pendekar silat yang berilmu tinggi, bernama Long dulah yang terkenal
dengan panggilan Datok tegap. Banyak orang yang datang berguru kepadanya.
Menyadari ada orang yang mengikutinya, Datok Tegap langsung
membentak:
"Hai, jangan main-main!"
Alangkah terkejutnya Abang Sehak mendengar bentakan itu, apalagi
ketika orang tua itu menoleh kepadanya. Ternyata orang tua itu adalah Datok
Tegap, guru silat yang cukup disegani di tanah Tamiang.
"Oh, maaf Datok! Bagaimana Datok dapat mengetahui kalau
saya ada di belakang Datok? Apakah Datok mempunyai ilmu batin?" tanya
Abang sehak.
"Tidak... Tidak...! Aku tidak mempunyai ilmu apa-apa. Aku
hanya menebak-nebak saja, dan kebetulan tebakanku benar," jawab Datok
Tegap sambil terus berlalu tanpa menghiraukan Abang sehak.
Namun, Abang Sehak terus membuntutinya.
"Tidak usah berbohong Datok! Datok pasti mempunyai ilmu
batin. Saya mohon ajarkanlah kepada saya Datok!" pinta Abang Sehak.
Setelah beberapa kali Abang Sehak memohon barulah Datok Tegap
mengaku bahwa dia memang mempunyai ilmu batin. Ia pun bersedia mengajarkan
ilmunya, asalkan Abang Srhak mau memenuhi satu syarat.
"Baiklah, Abang Sehak! Aku bersedia mengajarimu asalkan
kamu mau merubah perilakumu yang suka membuat kekacauan di desa ini," ujar
Datok Tegap.
"Baiklah, Datok! Aku berjanji tidak akan membuat kekacauan
lagi," kata Abang Sehak berjanji.
"Kalau begitu, datanglah besok ke rumah!" kata Datok
Tegap seraya melanjutkan perjalanan menuju ke pasar.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Abang Sehak pergi ke rumah
Datok Tegap. Saat ia memasuki pekarangan rumah Datok tegap, tampaklah sejumlah
murid-murid Darok sedang berlatih ilmu silat dan batin.
"Wah, ternyata Datok mempunyai banyak murid. Kenapa tidak
dari dulu aku berguru kepada Datok ?" gumamnya dengan perasaan menyesal.
Melihat kedatangan Abang Sehak, Datok Tegap segera menyuruhnya
duduk untuk diberikan pengarahan. Setelah itu, Abang Sehak pun ikut berlatih bersama
murid-murid Datok Tegap lainnya. Sejak itu, ia menjadi murid Datok Tegap. Ia
termasuk murid yang cerdas dan dapat memahami dan menguasai jurus-jurus yang
diajarkan kepadanya dengan sempurna. Tak heran, jika Datok Tegap sangat menyayanginya dan rela memberikan semua
ilmu yang dimilikinya.
Setelah menguasai semua ilmu yang diberikan oleh Datok Tegap,
Abang Sehak berpamitan kepada gurunya hendak merantau ke tanah Tanah Melayu (
Malaysia) untuk memperbaiki hidupnya.
"Terima kasih, Guru! Ilmu yang guru berikan akan saya
gunakan untuk kebaikan," ucap Abang Sehak.
"Aku pun berharap demikian, Muridku," kata Datok Tegap
seraya berpesan kepada Abang Sehak dengan
untaian pantun dan syair seperti berikut ini:
wahai ananda hamba ber amanat,
simak olehmu petuah amanah
peganglah dengan hati yang bulat
semoga Tuhan memberimu berkah
maka seperti kata orang tua-tua:
sebelum melangkah pegang petuah
sebelum berjalan amanah dipadan
untuk bekal ananda berjalan
manfaatkan ilmu pada yang terpuji
menjaga diri membela negeri
manfaatkan ilmu pada yang patut,
supaya tak sia-sia ananda menuntut
ilmu jangan dipermain-mainkan
pantang sekali dilagak-lagakkan
ilmu jangan disia-siakan,
amalkan olehmu pada kebajikan
berbuat baik engkau kekalkan
tolong menolong engkau utamakan
tiru olehmu ilmu padi,
semakin merunduk semakin berisi.
Setelah berjanji untuk melaksanakan semua nasehat gurunya, Abang
Sehak pun berlayar ke Tanah Melayu dengan menumpang kapal milik Haji Jali dari Pantai
Hilir Tamiang. Selama di perjalanan, Haji Jali pun senantiasa memberinya
nasehat.
"Wahai, Abang Sehak! Sesampainya di Tanah Melayu, kamu
harus pandai-pandai menjaga mulut, karena adat penduduk di sana berbeda dengan
adat kita di kampung," pesan Haji Jali.
"Apakah itu, Pak Haji?" tanya Abang Sehak penasaran.
"Jika kamu mendengar ayam berkokok tiga kali berturut-turut
bukan pada waktunya, jangan kamu jawab! Jika kamu menjawabnya, berarti kamu
telah melawan adat Tanah Melayu. Sebagai hukumannya, kamu harus bertarung melawan
Panglima Tanah Melayu," ujar Haji Jali.
"Oh, begitu!" kata Abang Sehak sambil tersenyum.
Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, tibalah
mereka di Tanah Melayu bersamaan waktu magrib. Saat mereka menginjakkan kaki di
pelabuhan, terdengarlah suara ayam jantan berkokok tiga kali berturut-turut. Tanpa
disadarinya, Abang Sehak menjawab kokokan ayam tersebut.
"Kokkokokkooo...!!!" demikian suara Abang Sehak.
Rupanya, jawaban kokokan ayam Abang Sehakterdengar oleh
mata-mata Raja Melayu yang sedang berjaga-jaga di Pelabuhan.
Mata-mata itu pun segera melaporkan hal itu kepada Raja.
"Ampun, Baginda! Hamba mendengar suara ayam jantan yang
baru saja berlabuh di pelabuhan," lapor mata-mata itu.
"Pengawal! Carilah ayam jantan dari negeri seberang itu
yang telah berani menantang adat Tanah Melayu!" perintah sang Raja.
Mendengar perintah tersebut, beberapa pengawal istana segera
menuju ke pelabuhan untuk mencari ayam jantan itu, dan membawanya ke istana
untuk dihadapkan kepada Raja. Tak berapa lama kemudian, para pengawal itu pun
kembali bersama Abang Sehak.
"Hai, orang asing! Siapa kamu ini, berani-beraninya
menentang adat negeri ini?" tanya Raja Melayu dengan nada membentak.
"Ampun, Baginda! Hamba seorang perantau dari Tamiang.
Orang-orang memanggilku Abang Sehak. Mohon ampun jika hamba telah melanggar
adat negeri ini!" Abang Sehak memohon kepada Raja Melayu sambil memberi
hormat.
"Asal kamu tahu saja, Abang Sehak! Siapa pun yang melanggar
adat negeri ini, maka ia harus menerima hukuman, yaitu bertarung melawan
Panglima Tanah Melayu," ujar Raja Melayu.
"Ampun, Baginda! Hamba bersedia menerima hukuman ini. Tapi,
berilah hamba waktu tiga hari untuk memulihkan tenaga terlebih dahulu. Hamba
sangat kelelahan setelah berhari-hari berlayar terombang-ambing di tengah
laut," pinta Abang Sehak.
Setelah berunding dengan panglimanya, sang Raja pun memenuhi
permintaan Abang Sehak. Sambil menunggu hari pertarungan itu tiba, Abang Daud
tinggal di rumah Haji Jali. Agar Abang Sehak tidak melarikan diri kembali ke
negerinya di Tamiang, Raja Melayu mengutus beberapa orang pengawalnya untuk
berjaga-jaga di sekitar rumah Haji jali.
Pada malam harinya, usai makan malam, juragan kapal itu berbincang-bincang
dengan Abang Sehak.
"Hai, Abang Sehak! Aku sudah berkali-kali menasehatimu, tapi
kamu tetap saja melanggar adat negeri ini. Akhirnya, kamu terima sendiri
akibatnya," ujar Haji Jali.
"Tidak usah khawatir, Pak Haji! Semoga saja saya bisa
mengatasi masalah ini sendiri. Saya mohon maaf jika telah merepotkan Pak
Haji," kata Abang Sehak dengan tenangnya.
Pada hari yang telah ditentukan, Abang Sehak datang menghadap
sang Raja untuk menepati janjinya. Tak ketinggalan pula Haji Jali bersama warga
Tamiang Yang ada disekitaran istana Kerajaan Melayu untuk menyaksikan pertarungan tersebut. Sebagai
sesama orang Tamiang, mereka senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada
Abang Sehak agar selamat dari kematian.
Saat rombongan Abang Sehak memasuki halaman istana, tampak
seluruh keluarga istana dan para pengawal Raja telah memadati sekitar arena
pertarungan yang telah disiapkan. Sesekali terdengar suara ejekan dari para
penonton yang meremehkan kemampuan Abang Sehak.
"Ah, orang itu kemari hanya untuk mengantarkan nyawa. Dia
pasti akan mati terkapar di atas arena melawan Panglima Tanah Melayu," ucap
seorang pengawal.
Sementara itu, saat melihat kedatangan Abang SEhak, Raja Melayu segera memerintahkan hulubalangnya untuk
menyediakan berbagai jenis senjata dan menyuruh Abang Sehak memilih senjata
yang dikehendakinya. Abang Sehak memilih sebuah Tongkat lembing.
"Baiklah, kalau itu pilahanmu. Pertarungan akan segera
dimulai. Apakah kamu sudah siap, wahai Abang Sehak?" tanya Raja Melayu
meyakinkan Abang Sehak.
"Hamba siap, Baginda!" jawab Abang Sehak seraya
berjalan menuju ke arena yang telah disediakan di halaman istana.
Ketika kedua petarung itu berada di atas arena, Raja Haji bersama
rombongannya dari Tamiang semakin cemas akan menyaksikan pertarungan itu. Lain
halnya dengan seluruh masyarakat Tanah Melayu, mereka bersorak gembira sambil
terus merendahkan Abang Sehak. Mereka yakin bahwa panglima merekalah yang akan
memenangkan pertarungan itu.
"Hai, Abang Sehak! Berdoalah sebelum nyawamu
melayang!" celetuk salah seorang penonton dari Tanah Melayu.
"Iya, Abang Sehak! Berpesanlah kepada orang-orang Tamiang
sebelum kamu mati sia-sia di tangan Panglima kami!" tambah seorang
penonton lainnya dari Tanah Melayu.
Abang Sehak hanya tersenyum mendengar ejekan-ejekan yang
dilontarkan kepadanya. Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai.
Panglima Tanah Melayu mengawali pertarungan itu dengan terlebih dahulu
menyerang, sedangkan Abang Sehak hanya menangkis dan menghindar dari
serangan-serangan yang datang secara bertubi-tubi. Berkali-kali Panglima Tanah
Melayu melancarkan serangan, berkali-kali pula Abang Sehak dapat berkelit dan
menghindarinya. Ketika melihat Panglima Tanah Melayu mulai kelelahan, Abang
SEhak berbalik menyerang. Hanya dengan beberapa jurus saja, Abang Sehak
berhasil memainkan lembing nya tepat pada lambung kiri Panglima Tanah Melayu.
Seketika itu pula, Panglima kebanggaan Tanah Melayu itu jatuh terkapar tak
sadarkan diri.
Seluruh masyarakat Tanah Melayu yang menyaksikan pertarungan itu
terkejut, terutama Raja Melayu. Sang Raja benar-benar tidak pernah mengira
sebelumnya bahwa Abang Sehak adalah pendekar yang sangat tangguh dan sakti.
Sedangkan masyarakat Tamiang yang semula hanya terdiam diselimuti perasaan cemas,
tiba-tiba berteriak kegirangan menyaksikan kemenangan pendekar yang berasal
dari tanah kelahiran mereka. Sebagai Raja yang arif dan bijaksana, Raja Melayu
pun mengangkat Abang Sehak menjadi
Panglima Tanah Melayu dengan gelar Panglima lembing.
Sejak itu, Panglima Tanah Melayu dari Tamiang tersebut tinggal
di istana Kerajaan Melayu dengan kehidupan serba mewah. Namanya pun semakin
terkenal hingga ke berbagai negeri. Ia sangat disegani oleh masyarakat Tanah
Melayu. Rupanya, pangkat, jabatan, dan ketenaran itu membuatnya lupa diri,
penyakitnya mulai kambuh lagi. Ia selalu membuat kekecauan di mana-mana. Raja
Melayu pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Pada suatu ketika, Abang Sehak yang bergelar Panglima Lembing
itu kembali ke kampung halamannya. Di kampungnya, perilaku Panglima Lembing
semakin menjadi-jadi, sehingga masyarakat Tamiang menjadi resah. Mendengar berita
tersebut, Tumenggung Tamiang pun segera memerintahkan warga untuk menangkapnya.
Namun, tak satu pun warga yang mampu mengalahkan kesaktiannya.
"Apa yang harus kita lakukan Tumenggung?" tanya
seorang warga dengan risau dalam sebuah pertemuan desa.
"Hmmm... aku kira satu-satunya orang yang dapat menangkap
Abang Sehak adalah gurunya sendiri. Apakah kalian mengetahui siapa guru Abang
Sehak?" Tumenggung Mentok balik bertanya kepada warga.
"Hai, bukankah dia dulu pernah berguru pada Datok Tegap?"
sahut seorang warga.
"Benar, Tumenggung! Dia adalah teman seperguruan saya
dulu," tambah seorang warga lainnya.
Akhirnya, beberapa warga segera memanggil Datok Tegap. Tak
berapa lama, guru Abang Sehak itu pun datang ke pertemuan desa tersebut.
"Maaf, para hadirin! Sebenarnya saya ragu untuk bisa
menangkap Abang Sehak, karena saya telah memberikan seluruh ilmuku kepadanya,"
ungkap Datok Tegap.
Setelah didesak oleh para warga, Datok Tegap pun bersedia
membantu dan segera mencari akal untuk dapat mengalahkan kesaktian muridnya
itu. Saat itu pula, ia tiba-tiba teringat dengan satu kelemahan Abang Sehak.
Dulu, Abang Sehak pernah bercerita kepadanya bahwa dia tidak bisa berenang.
Oleh karena itu, ia akan membujuknya untuk menemaninya mengambil air di sungai.
Pada saat itulah, ia akan mendorong Abang SEhak masuk ke dalam sungai.
Keesokan harinya, Datok Tegap pergi menemui Abang Daud. Namun,
sebelum mengajak ke sungai, ia berusaha membujuk dan menasehati kembali murid
kesayangannya itu.
wahai ananda dengarlah amanah,
kalau hidup peganglah wakil
kalau mati peganglah amanat
pegang petuah dengan amanah
pegang tunjuk dengan ajarnya
wahai ananda dengarlah amanah,
ingat-ingat engkau berjalan
jangan dengar bujukan setan
hawa nafsu jangan turutkan
pertolongan Allah engku mohonkan
hati hati engkau berjalan
petuah amanah jangan lupakan
tunjuk ajar jangan abaikan
ilmu di dada peganglah teguh
Mendapat nasehat dari gurunya, Abang Sehak bukannya berterima
kasih, tetapi justru memaki-maki gurunya.
"Hentikan semua omong kosongmu itu Pak Tua! Aku sudah muak
dengan semua nasehatmu!" bentak Abang Sehak.